Cerpen,

Takperlu Kuungkapkan (2)

8:47:00 PM Fajria Anindya Utami 0 Comments



                Semalaman Andini tidak bisa tidur memikirkan Randy Assegaf. Foto yang di genggampun tak terlepas dari tidurnya.
***
                “Nay! Naya! Disini!”  teriak Dini memanggil seorang wanita dengan tinggi semampai di kuncir kuda. Anak rambutnya dibiarkan menari di pelipisnya. Semakin menegaskan rahang di wajah ovalnya. Wanita itupun berjalan tergesa-gesa menuju arah suara.
                “Ada apa, Din? Se-urgent apa sih beritanya? Sampe mimpi indah gue terganggu ngedenger i-messages dari lo,” cerocos Naya sambil mecondongkan wajahnya.
                “Hehe, sorry beib.. lo mau pesen apa? Sini gue pesenin,”
                “Bayarin sekalian yaa. Gue lagi pengen gado-gado Bu Marni, nih.”
                “Sip,”
                Andini berjalan anggun menyusuri kerumunan. Padahal masih jam sembilan pagi, tapi Cafetaria FMIPA sudah mulai ramai. Mungkin banyak yang belum sarapan. Maklum, kebanyakan anak disini adalah anak kos.
                Andini pun memesan pesanan Naya. Selang beberapa lama, gado-gado pesanannya pun jadi.
                “Ah, thankyou my bestieee,” ucap Naya dengan nada bangga ketika memanggil wanita cantik didepannya dengan sebutan ‘bestie’
                “My pleasure as well, hun”
                “Oke, sambil gue makan, lo harus mulai cerita. Ada apa sebenarnya? Sampe lo susah tidur dan kemudian punya mata panda kayak begini?” ucap Naya khawatir.
                Andini mulai mengeluarkan selembar foto.
                “Jangan lihat belakang foto ini, sebelum lo kenali betul siapa orangnya! Lo kan humas di kampus kita, lo pasti kenal sedikit-banyak mahasiswa disini kan?” ucap Andini sebelum memberikan foto tersebut.
                “Bawel. Sini coba gue liat!” ucap Naya tak sabaran.
                Naya menerka-nerka foto yang sedang dipegangnya. Antara ragu, dia akhirnya menjawab.
                “Dia bukan anak sini. Anak fakultas lain. Lebih tepatnya, fakultas psikologi” ucap Naya gamblang.
                “Serius? Semester berapa?”
                “Yang jelas, dia senior kita.......... Tunggu. Masa lo gak inget sih dia siapa?” ucap Naya setengah mengunyah gado-gadonya.
                “Enggak. Emang dia siapa?” ucap Andini bingung.
                Naya geleng-geleng “Dia Kak Randy yang nolong elo waktu lo kesasar di hutan. Dia senior cowok yang paling pertama sadar pas lo ilang. Lo gak inget?”
                “Astagfirullah. Enggak, gue gak inget sama sekali. Lo kan tau gimana keadaan gue waktu itu”
                “Iya bener juga. Lo kacau banget. Tanah dimana-mana, lo pun gak bisa melek karena banyak tanah di mata lo. Lo emang abis main tanah? Haha,” ucap Naya meledek
                “Jahat lo, beib. Gue masih trauma nih sama hutan,”
                “Iya iya, sorry.” Ucap Naya sambil minum Es Teh manis milik Andini “Sekarang, gue boleh liat belakangnya?”
                “Ya, silahkan. Toh, lo udah tau siapa orangnya.”
                “Wuidih. Ada nomer ponselnya segala. Hmmm, pertanyaan gue sekarang adalah... darimana lo dapet foto ini?” tanya Naya penuh selidik.
                “Nih, dari halaman paling belakang buku ini.” Andini menyodorkan buku yang tidak terlalu tebal dengan cover bergambar sepasang kekasih yang sedang bergandengan dan dibelakangnya ada seorang pria yang memperhatikan dengan penuh kepedihan.
                “Buku ini??? Buku dari penggemar rahasia lo?! Gilaaaaaa! Beruntung banget lo di taksir sama Kak Randy!” teriak Naya sumringah.
                “Ett bocah. Pelan-pelan!”
                “Ups, sorry. Jadi, lo mau cari tau tentang dia?” tanya Naya penuh selidik.
                “Mungkin,”
                “Trus, lo sama Lana gimana?”
                “Gak gimana-mana. Gue cuma penasaran kok. Gak akan berimbas ke hubungan gue sm dia,” ‘mudah-mudahan’ lanjut Andini dalam hati.
***
                Pagi hari yang cerah ketika tiga orang gadis memperhatikan seorang pria tampan memarkirkan Kawasaki Ninja berwarna hijau miliknya.
                “Sana buruan! Ntar Kak Lana keburu pergi,” kata salah satu gadis.
                “Iya sana! Jangan kayak kemarin-kemarin ya! Bisanya cuma ‘Hai Kak Lana, apa kabar?’ setelah    dia jawab, kamu malah kabur.” Kata gadis lainnya
                “Aku takut. Duh, doain aku ya!” ucap gadis yang sedaritadi di desak oleh teman-temannya.
                Ketiga gadis ini masih lengkap dengan atribut OSPEK mereka. Politeknik Negeri Jakarta memang sedang melangsungkan OSPEK. Gadis berpipi tirus terus berjalan dengan keyakinan seperti biasa. Segenggam cokelat yang ia bawa selalu terlihat sama seperti cokelat yang ia bawa hari kemarin. Namun, siapa sangka bahwa itu adalah cokelat yang baru saja ia beli di supermarket. Dengan tambahan pita hijau di atas bungkus cokelat yang masih sangat terlihat rapi.
                Seketika gadis yang membawa cokelat itu berhenti. Ia ragu. Ia menoleh ke arah teman-temannya. Seakan bertanya, teman-temannya berkata “Ayo terus! Cepet! Ntar keburu pergi!” dengan setengah keberanian yang mulai memudar. Gadis yang membawa cokelat kemudian setengah berlari menghampiri pria tampan dengan leather jacket-nya yang sedang berbincang dengan salah satu temannya di pelataran parkiran.
                “Hai, Kak Lana. Apa kabar?” tanya sang gadis dengan meletakkan cokelatnya di belakang punggungnya.
                “Baik,” yang di sapa pun hanya menoleh sepintas kemudian melanjutkan obrolannya.
                Sang gadis hendak kabur seperti kemarin pagi di tempat yang sama. Namun teman-temannya mencegat dan meraih cokelat yang di genggamnya.
                “Hai, Kak Lana. Ini cokelat dari Amel. Dimakan ya, Kak. Semoga kakak suka,” kata salah satu temannya sambil menunjuk ke arah Amel yang tengah memerah.
                Teman Lana pun tertawa kecil mendengarnya. Kemudian berkata “Gue duluan ya, Lan. Di panggil Tony,” masih sambil tertawa. Kali ini, tawanya menjadi nyaring.
                “Kenapa gak kabur aja lagi kayak kemaren? Gue males ngadepin anak ABG kayak kalian. Lain kali kalo ada apa-apa to the point aja. Gak usah basa-basi dengan nanya kabar. Kayak kerabat lama aja! Emang lo siapanya gue?” ucap Lana pedas.
                Wajah Amel kian memerah. Bibirnya menjadi pucat. Tangannya mendingin. Matanya panas. Amel tidak menyangka akan di sembur sedemikian rupa oleh Kak Lana. Dia memang pria yang dingin dan ketus. Amel tau hal itu. Tapi Amel tak menyangka perbuatannya balakangan ini malah membuatnya jengah.
                Kak Lana pun pergi tanpa menyentuh cokelat dari Amel.
                “Kak! Gak seharusnya kakak bersikap kayak gitu! Mentang-mentang kakak seorang senior. Bisa gitu ya nyemprot kata-kata pedas ke junior?” kata teman Amel yang lainnya.
                Kak Lana pun tetap berjalan tanpa menoleh. Namun dalam hatinya berkata.
                “Tidak. Jangan lagi. Jangan terulang lagi.”

0 comments:

Jumat, 27 Desember 2013

Takperlu Kuungkapkan (2)



                Semalaman Andini tidak bisa tidur memikirkan Randy Assegaf. Foto yang di genggampun tak terlepas dari tidurnya.
***
                “Nay! Naya! Disini!”  teriak Dini memanggil seorang wanita dengan tinggi semampai di kuncir kuda. Anak rambutnya dibiarkan menari di pelipisnya. Semakin menegaskan rahang di wajah ovalnya. Wanita itupun berjalan tergesa-gesa menuju arah suara.
                “Ada apa, Din? Se-urgent apa sih beritanya? Sampe mimpi indah gue terganggu ngedenger i-messages dari lo,” cerocos Naya sambil mecondongkan wajahnya.
                “Hehe, sorry beib.. lo mau pesen apa? Sini gue pesenin,”
                “Bayarin sekalian yaa. Gue lagi pengen gado-gado Bu Marni, nih.”
                “Sip,”
                Andini berjalan anggun menyusuri kerumunan. Padahal masih jam sembilan pagi, tapi Cafetaria FMIPA sudah mulai ramai. Mungkin banyak yang belum sarapan. Maklum, kebanyakan anak disini adalah anak kos.
                Andini pun memesan pesanan Naya. Selang beberapa lama, gado-gado pesanannya pun jadi.
                “Ah, thankyou my bestieee,” ucap Naya dengan nada bangga ketika memanggil wanita cantik didepannya dengan sebutan ‘bestie’
                “My pleasure as well, hun”
                “Oke, sambil gue makan, lo harus mulai cerita. Ada apa sebenarnya? Sampe lo susah tidur dan kemudian punya mata panda kayak begini?” ucap Naya khawatir.
                Andini mulai mengeluarkan selembar foto.
                “Jangan lihat belakang foto ini, sebelum lo kenali betul siapa orangnya! Lo kan humas di kampus kita, lo pasti kenal sedikit-banyak mahasiswa disini kan?” ucap Andini sebelum memberikan foto tersebut.
                “Bawel. Sini coba gue liat!” ucap Naya tak sabaran.
                Naya menerka-nerka foto yang sedang dipegangnya. Antara ragu, dia akhirnya menjawab.
                “Dia bukan anak sini. Anak fakultas lain. Lebih tepatnya, fakultas psikologi” ucap Naya gamblang.
                “Serius? Semester berapa?”
                “Yang jelas, dia senior kita.......... Tunggu. Masa lo gak inget sih dia siapa?” ucap Naya setengah mengunyah gado-gadonya.
                “Enggak. Emang dia siapa?” ucap Andini bingung.
                Naya geleng-geleng “Dia Kak Randy yang nolong elo waktu lo kesasar di hutan. Dia senior cowok yang paling pertama sadar pas lo ilang. Lo gak inget?”
                “Astagfirullah. Enggak, gue gak inget sama sekali. Lo kan tau gimana keadaan gue waktu itu”
                “Iya bener juga. Lo kacau banget. Tanah dimana-mana, lo pun gak bisa melek karena banyak tanah di mata lo. Lo emang abis main tanah? Haha,” ucap Naya meledek
                “Jahat lo, beib. Gue masih trauma nih sama hutan,”
                “Iya iya, sorry.” Ucap Naya sambil minum Es Teh manis milik Andini “Sekarang, gue boleh liat belakangnya?”
                “Ya, silahkan. Toh, lo udah tau siapa orangnya.”
                “Wuidih. Ada nomer ponselnya segala. Hmmm, pertanyaan gue sekarang adalah... darimana lo dapet foto ini?” tanya Naya penuh selidik.
                “Nih, dari halaman paling belakang buku ini.” Andini menyodorkan buku yang tidak terlalu tebal dengan cover bergambar sepasang kekasih yang sedang bergandengan dan dibelakangnya ada seorang pria yang memperhatikan dengan penuh kepedihan.
                “Buku ini??? Buku dari penggemar rahasia lo?! Gilaaaaaa! Beruntung banget lo di taksir sama Kak Randy!” teriak Naya sumringah.
                “Ett bocah. Pelan-pelan!”
                “Ups, sorry. Jadi, lo mau cari tau tentang dia?” tanya Naya penuh selidik.
                “Mungkin,”
                “Trus, lo sama Lana gimana?”
                “Gak gimana-mana. Gue cuma penasaran kok. Gak akan berimbas ke hubungan gue sm dia,” ‘mudah-mudahan’ lanjut Andini dalam hati.
***
                Pagi hari yang cerah ketika tiga orang gadis memperhatikan seorang pria tampan memarkirkan Kawasaki Ninja berwarna hijau miliknya.
                “Sana buruan! Ntar Kak Lana keburu pergi,” kata salah satu gadis.
                “Iya sana! Jangan kayak kemarin-kemarin ya! Bisanya cuma ‘Hai Kak Lana, apa kabar?’ setelah    dia jawab, kamu malah kabur.” Kata gadis lainnya
                “Aku takut. Duh, doain aku ya!” ucap gadis yang sedaritadi di desak oleh teman-temannya.
                Ketiga gadis ini masih lengkap dengan atribut OSPEK mereka. Politeknik Negeri Jakarta memang sedang melangsungkan OSPEK. Gadis berpipi tirus terus berjalan dengan keyakinan seperti biasa. Segenggam cokelat yang ia bawa selalu terlihat sama seperti cokelat yang ia bawa hari kemarin. Namun, siapa sangka bahwa itu adalah cokelat yang baru saja ia beli di supermarket. Dengan tambahan pita hijau di atas bungkus cokelat yang masih sangat terlihat rapi.
                Seketika gadis yang membawa cokelat itu berhenti. Ia ragu. Ia menoleh ke arah teman-temannya. Seakan bertanya, teman-temannya berkata “Ayo terus! Cepet! Ntar keburu pergi!” dengan setengah keberanian yang mulai memudar. Gadis yang membawa cokelat kemudian setengah berlari menghampiri pria tampan dengan leather jacket-nya yang sedang berbincang dengan salah satu temannya di pelataran parkiran.
                “Hai, Kak Lana. Apa kabar?” tanya sang gadis dengan meletakkan cokelatnya di belakang punggungnya.
                “Baik,” yang di sapa pun hanya menoleh sepintas kemudian melanjutkan obrolannya.
                Sang gadis hendak kabur seperti kemarin pagi di tempat yang sama. Namun teman-temannya mencegat dan meraih cokelat yang di genggamnya.
                “Hai, Kak Lana. Ini cokelat dari Amel. Dimakan ya, Kak. Semoga kakak suka,” kata salah satu temannya sambil menunjuk ke arah Amel yang tengah memerah.
                Teman Lana pun tertawa kecil mendengarnya. Kemudian berkata “Gue duluan ya, Lan. Di panggil Tony,” masih sambil tertawa. Kali ini, tawanya menjadi nyaring.
                “Kenapa gak kabur aja lagi kayak kemaren? Gue males ngadepin anak ABG kayak kalian. Lain kali kalo ada apa-apa to the point aja. Gak usah basa-basi dengan nanya kabar. Kayak kerabat lama aja! Emang lo siapanya gue?” ucap Lana pedas.
                Wajah Amel kian memerah. Bibirnya menjadi pucat. Tangannya mendingin. Matanya panas. Amel tidak menyangka akan di sembur sedemikian rupa oleh Kak Lana. Dia memang pria yang dingin dan ketus. Amel tau hal itu. Tapi Amel tak menyangka perbuatannya balakangan ini malah membuatnya jengah.
                Kak Lana pun pergi tanpa menyentuh cokelat dari Amel.
                “Kak! Gak seharusnya kakak bersikap kayak gitu! Mentang-mentang kakak seorang senior. Bisa gitu ya nyemprot kata-kata pedas ke junior?” kata teman Amel yang lainnya.
                Kak Lana pun tetap berjalan tanpa menoleh. Namun dalam hatinya berkata.
                “Tidak. Jangan lagi. Jangan terulang lagi.”