Senda gurau



Aku jadi merasa bodoh sudah jatuh cinta terhadap seseorang yang bahkan aku tak tau apa arti dari bentuk perhatiannya selama ini.

Apa semua ini hanya senda gurau? Apa semua ini hanya permainan? Atau hanya aku yang terlalu serius menanggapi?

Semua perlakuan khususmu? Semua hal yang bahkan kau lakukan untukku, apa itu hanya bercandaanmu saja?

Aku selalu bertanya-tanya, tak adakah rindumu untukku disana? Aku disini selalu menunggumu sendirian. Aku disini selalu mengkhawatirkan kabarmu sendirian.

Miris ya? Setelah luka yang mereka torehkan, aku mencoba untuk memberanikan diri agar tak takut jatuh cinta lagi. Tapi semua perlakuanmu malah membuatku meratap sepi.

Sekarang bagaimana aku sanggup menjalani hari-hari kalau rindunya sudah banyak begini? Sekarang bagaimana aku sanggup membaca tulisan ini kalau dipikiranku hanyalah sosok yang bahkan aku tak tau bagaimana perasaanya terhadapku?

Aku hanya bisa mendongak ke langit. Merasakan setetes airmata yang akhirnya tak kuasa kubendung lagi.

Kau disana. Lagi-lagi kau hanya diam memperhatikanku. Tak kau lihatkah aku mulai terluka? Tak lihatkah kau aku mulai mencintaimu sebegitu dalam?

Tolong lakukan sesuatu! Jangan hanya diam disana! Beri aku kepastian! Beri aku kejelasan! Beri aku kekuatan kalau memang kau tak pernah merasakan hal yang sama kepadaku!

Atau selama ini kau hanya mencari-cari sensasi? Melihat ada perempuan terluka dan meratap sepi sepertiku agar dapat kau permainkan sesuka hati?

Terlihat kejam dan berlebihan memang. Tapi bagaimana kalau itu benar? Bagaimana kalau memang aku jatuh cinta sendirian sementara kau tak merasakan apapun disana?

Apa?? Lagi? Aku jatuh cinta sendirian lagi???

Kau tak tau betapa pedihnya hal itu! Kau tenggelam ke dalam arus yang kau buat sendiri. Awalnya kau tak takut karena kau rasa, dia –seseorang yang kau cintai- ada bersamamu. Pada nyatanya kau akan tenggelam sendirian ke dalam lautan tak berdasar, ke dalam lubang hitam yang entah kemana akan membawa hati dan jiwamu.

Kau tau kan aku ini wanita? Kau tau kan hatiku sangat mudah terluka setelah semua hal yang terjadi padaku?

Aku pernah jatuh sedemikian dalam. Aku pernah terluka sedemikian perih. Sampai aku lupa apa yang terjadi pada hatiku. Sampai aku lupa kalau aku pernah sebahagia dulu.

Terlalu banyak kenangan pahit. Terlalu banyak luka. Terlalu banyak trauma untuk dapat kuobati sendiri. Aku butuh seorang penyembuh. Aku membutuhkannya untuk bisa membuatku kembali bahagia bahwa aku pantas dicintai. Tapi… kau kah itu?

Tidak. Bukan. Kurasa itu bukan kau.

Aku ingin merasakan bentuk emosi lagi. Aku ingin merasakan hangatnya dicintai lagi.

Tapi… sudahlah. Sekarang aku mulai mengerti. Apakah ini ganjaran atas kejahatanku di masa lalu?

Aku pernah melukai seseorang. Aku pernah bertindak jahat. Aku pernah bertindak sesuka hati.

Aku hampir tak menganggapnya ada. Aku hanya menjadikannya selingan dikala bosan datang. Tapi, toh, orang itu berkata dia tetap bahagia bersamaku. Katanya, “Lebih baik mendapatkan hatimu separuh daripada tidak sama sekali.”

Apakah itu yang sedang kualami? Apakah aku hanya memiliki separuh hatimu saja? Tidak kan? Aku benar-benar berharap jawabannya adalah tidak.

Aku ingin mencintaimu dengan keegoisanku. Aku ingin dicintai olehmu sebagaimana obsesimu atas semua mimpi-mimpimu.

Ya, aku ingin menjadi salah satu mimpi yang sedang kau perjuangkan.

Tapi... tidak deh.

Sekarang aku tak sanggup berada di dekatmu kalau yang kau lakukan kepadaku hanyalah tindakan palsu.

Sudahlah, mari kita akhiri semua ini.

A Story of Schizophrenia


Last semester when I was 19, I was on my third semester at campus.

The story began in the beginning of campus life. My parents divorced and I broke up with my first boyfriend whose we’ve been together for 5 years and almost 7months.

I don’t feel anything when it happened. It just happened. So, yeah, I’ve tried my best to accept it. Until I tried to open up my heart and accept someone to be a part of my life. To replaced my first boyfriend. To fixed up my heart. But, the thing is… I don’t know that the ultimate problem starts right there. 

No. I don’t blame him. I blame me. I blame myself for being so such annoying and reckless.

I’m happy with him, I admit. We’ve been always laughing. We’ve been always lovey-dovey. We’ve been always together.

Until one day, suddenly when I’m with him, my hearts are suck. It feels like there’s something big inside it and I have to take it off but I don’t know what was that.

I cried. Just like a baby. Just like a depression girl he ever seen.

It’s so ashamed but I’ve tried to be my-own-self. And I think, he hates me now. He broke us. He broke me. He broke my heart into pieces until I lost the real best of me.

He was tried to change me. He never cares. He never been the one who cares. He always did what he wants. And he never think a bit of my feelings.

He left me alone with my loneliness. He left me when I need someone to talk to. He left me when I need someone who can embrace me tight.

I thought he was the best. But absolutely he’s the worst. He always been like this. He does. He is. He always be the one who broke my heart into pieces.

But, it’s okay we’re not going to talk about him. I’m going to talk about my Schizophrenia after we’re break up.

No, I’m not proud of myself being one of someone who diagnosed by Schizophrenia. It’s shameful. I have to admit it. I’m afraid I’d be labeled as a freak one while I knew I have capability to be a great one.

I’m afraid someone will think that I’m such a freak. I’m afraid there’s no one who can accept as who I am. I’m afraid I’d be left by someone that I love anymore.

It’s hurting. It hurts to know that the one that you love with full of your heart is loving you just not as much as you do.

So, always prepare for the worse. And never trust someone clearly and completely.

Schizophrenia is suck. Really. I can’t appeal my emotion.

I can’t express everything. I can’t talk. I can’t cry. I can’t smile. I can’t laugh. Nor being a sympathy one. I’m suck a jerk, I think.

I can’t listen to the music. I can’t watch movie. I can’t do anything.

I was hating myself for being so freak.

It’s suck. Schizophrenia is really suck.

Ah, I don’t want to feel that way anymore!

My imaginary world always trapped me. I can’t talk to someone. I can’t study. I always trapped on my own mind. I feel it for almost 6months.

It really bothers me. It bothers my life.

I was a co-head committee in my campus and I have to let it go. I’m so disappointed with myself. I also make everyone disappointed with me. I hate it. I hate it more than I hate to have a low grade.

But the point is… I’m okay now. I already came back as one of committee at campus! Yey!

As you see. I’m happier than I ever be😃

And I declare myself that I’m perfectly recovery!!!😋

(Even tho I knew that Schizophrenia is one of difficult case which someday it can bothers me again, but I will try my best to not)

Be grateful with what you have now and always spread happiness! 😉

Prom Night (Cerpen part of With Past)



“Mereka bilang kita punya semangat pesta yang sama; sang sanguinis yang ingin dianggap, sang sanguinis yang ingin dilihat. Semangat pesta untuk menunjukkan kebolehanmu, kebolehanku yang akhirnya menjadi kebolehan kita”


Satu minggu sudah berlalu, acara prom night akan dimulai malam ini. Sejak chat terakhir itu, Galang mendiamkan chat dari Gina. Sebetulnya, Gina ragu untuk datang ke acara prom night malam ini. Namun, ia harus hadir karena beredar kabar bagi nama-nama yang lolos ke perguruan tinggi negeri akan dibagikan piagam. Selain itu, acara ini adalah acara yang sudah banyak para siswa-siswi tunggu! Jadi ratu atau raja semalam adalah goal para siswa-siswi.

Tak ingin larut dalam kesedihan karena Galang menjadi semakin menjengkelkan, Gina pun beberapa hari sebelumnya langsung pergi bersama Yola ke boutique, me-time di salon dan nyushi di Ichiban.

Tapi, tetap saja hatinya terasa hampa. Ia sudah sangat merindukan Galang tapi Galang sama sekali tak ada itikad baik untuk menghubunginya.

Dan kini, ia sedang memandangi pantulan dirinya di depan cermin. Dengan gaun panjang berwarna pink pastel berenda tersampir di bahu yang sangat melekukkan tubuh semampainya. Di tambah hair do dari sang kakak yang menunjukkan leher jenjang Gina serta make up natural yang membuat penampilannya kian menawan.

Namun, tetap saja penampilannya akan sia-sia apabila tidak ada seseorang untuk ia gandeng. Meski banyak yang ingin pergi bersama Gina, entah kenapa ia dan hatinya hanya ingin Galang seorang meski sebetulnya ia masih gondok setengah mati.

Bunyi klakson mobil tiba-tiba memekik di luar rumah Gina. Yola kah? Tapi, Gina belum memberi aba-aba untuk Yola datang ke rumahnya. Gina pun melongok ke jendela dan betapa terkejutnya ia saat melihat mobil Galang sudah bertengger cantik di depan gerbang rumahnya!

Masih dalam suasana terkejut, tiba-tiba Galang keluar dari mobilnya sudah rapi dengan suite and tie yang sangat pas untuk Galang! Oh my God, jantung Gina hampir mencelos keluar ketika melihat betapa tampannya Galang hari ini! Dengan setelan suite and tie berwarna hitam, Galang keluar mobil sambil membuka jas yang ia kenakan dan ia sampirkan di lengannya.

Tubuh Galang yang atletis pun terbentuk dengan indah dalam balutan klasik yang eye catching! Bagaimana Gina tak takut kehilangan makhluk seperti ini?? Galang pun langsung memencet bel rumah Gina hingga membuat Mbak Opi yang bekerja di rumah Gina membukanya serta mempersilakan Galang untuk masuk.


“Gina nya udah berangkat belum, Mbak?” sayup-sayup suara Galang terdengar saat berbicara dengan Mbak Opi.


Gina yang memperhatikan Galang sedaritadi dari jendela kamarnya yang mengarah langsung ke halaman rumah pun akhirnya langsung disadari Galang. Galang melirik Gina sepintas dengan senyum yang mengembang. Buru-buru Gina menghampirkan gordyn kamarnya.

Ternyata dia udah siap. Kata Galang dalam hati.


“Yuk masuk, Mas Galang. Mbak Gina lagi siap-siap kayaknya.” Kata Mbak Opi.


Galang pun memasuki rumah yang sudah biasa ia kunjungi. Pada sore hari ini suasana rumah Gina tampak sepi. Wajar lah, orang tua Gina sibuk bekerja dan kakaknya Gina, Kak Juni, biasanya tak di rumah, namun entah untuk hari ini.

Dengan ragu Gina keluar kamar dan mendapati Galang sudah duduk di sofa dan ada Mbak Opi yang sudah menyiapkan minum untuknya. Meski manyun, Gina pun langsung duduk di dekat Galang.


“Ada yang benci aku, katanya.” Kata Galang membuka suara saat Gina hendak duduk.


Gina hanya terus memainkan jari dan kukunya.


“Hey, ada yang benci aku, nih?” kata Galang lagi sambil melongok menatap Gina.


Yang ditatap pun hanya membuang muka mencoba sok cuek, padahal dalam hati ia sudah rindu setengah mati!

Dengan lembut, Galang meraih tangan Gina. Mengusapnya pelan dan tersenyum menatap Gina yang sedaritadi terus membuang muka.


“Gin, aku nya kan disini. Kok ngeliatnya ke arah itu terus?” ujar Galang.


Air mata sudah mengembung tertahan di kelopak mata Gina. Namun, kalau ia menangis, make up nya bisa hancur! Dengan keberanian yang Gina coba keluarkan, ia pun memberanikan diri menatap Galang.

Dan… sedetik kemudian…..


“Huaaaaaaaaa! Galang kamu rese!!!!!!!!! Aku kan kangen udah hampir sebulan gak ketemu kamu! Main mulu sama temen! Getol banget update sosmed tapi ngehubungin aku gak bisa!!!!!!” kata Gina meraung-raung yang tak bisa ia tahan lagi.


Galang yang melihatnya pun langsung panik menyambar tisu di meja ruang tamu Gina dan memberikan tisu itu kepada Gina.


“Heeee orang! Udah cantik juga. Make-up nya luntur deh!” pekik Galang.


“Abis kamu nyebelin!!!!” kata Gina lagi memukul-mukul tangan Galang.

Galang pun berpindah posisi lebih dekat dengan Gina lalu mulai mengelus-elus punggung Gina yang terbuka.

“Hehe, maaf ya, Sayang, aku sengaja ngediemin kamu. Abis kamu marah-marah mulu, aku males ngeladeninnya. Dari pada makin panjang, mending gak aku bales kan.” kata Galang menjelaskan.

“Tapi nyebelin!” kata Gina mulai tenang mencubiti tangan Galang.

“Ih, sakit tau dicubit-cubit!” kata Galang menahan tangan Gina.

“Aku mau peluk, Lang…. tapi nanti rambut aku rusak.” Kata Gina mulai manja.

“Iya, sini. Aku hati-hati deh biar rambut kamu gak rusak.” Kata Galang membuka diri agar Gina memeluknya.

“Ehm!” tiba-tiba suara dehaman membuat Gina urung memeluk Galang.

“Hasil karya gue itu! Awas aja kalo rusak kaga gua benerin lagi lu, Gin.” Pekik Kak Juni dari dalam rumah.

“Ada Juni?” tanya Galang kaget.

Kak Juni!” kata Gina mekankan kata ‘Kak’ karena Galang gak sopannya mulai keluar. “Iya doi lagi di rumah seharian. Ini rambut aku yang anuin dia.” Lanjut Gina lagi.

“Pfft.. anuin. Yang, kamu kalo ngomong jangan ambigu.” Ledek Galang.

“Ih maksud aku yang hair do-in rambut aku, Kak Juni.” Ulang Gina.

“Iya iya ngerti.” Kata Galang paham.

“Mau jalan kapan?” tanya Gina.

“Yakin mau jalan sekarang? Kamu gak mau ngaca dulu, gitu?” tanya Galang kembali.

Gina pun langsug buru-buru masuk kamar karena paham maksud Galang. Ia baru saja menangis dan pasti make up nya hancur total! Astaga……. Benar saja. Saat Gina melihat pantulan dirinya di cermin, mascara nya hancur total hingga membuat Gina harus pelan-pelan merapihkannya.

“Galang ih, kok, kamu gak bilang-bilang muka aku ancur begini???” teriak Gina dari dalam kamar yang tak ia sadari Galang sudah memperhatikan Gina dari pintu kamar.

“Mau make-up kamu ancur kayak apa juga, Gin, orang kalo udah cinta mah cinta aja.” Kata Galang hingga membuat Gina tersipu.

“Ih rese! Sana keluar! Malu aku ah.” Kata Gina mendorong Galang keluar dari kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat.

“Aku rapihin dandanan dulu trus nanti kita langsung jalan ya.” Kata Gina bersandar di balik pintu kamarnya dengan hati yang berbunga-bunga. Galang benar-benar pria idamannya!

“Oke. Aku tunggu di ruang tamu ya, Gin. Harus cepet loh.” Timpal Galang.

Dengan sigap, Gina langsung membenahi make-up nya. Dalam hitungan menit, make-up Gina pun sudah rapih total. Ia pun langsung menyambar high heels silver miliknya besert clutch silver dari dalam lemarinya. Dengan anggun, Gina melangkah keluar kamar dan menuju ke ruang tamu.

Galang pun terkesima dengan aura anggun yang Gina keluarkan. Dengan bangga, Galang langsung berdiri dan menawarkan lengan kokohnya untuk digamit oleh Gina. Gina tertawa kecil melihat Galang berlaga seperti pangeran dari negeri dongeng. Gina pun menggamit lengan Galang sambil berjalan keluar rumah bak seorang putri kerajaan.

“Kak Juni, aku jalan ya.” Teriak Gina kepada kakaknya.

“Yooo, hati-hati, Lang.” balas Kak Juni sambil meminta Galang untuk berhati-hati.

Tunggu… ada yang berbeda. Cara Galang melihat Gina sedikit berbeda. Ada apa ini? Ah, paling hanya karena mereka habis bertengkar. Pikir Kak Juni.

***

Sepanjang perjalanan, Galang membiarkan Gina menyetel musik kesukaannya. Gina terus berdendang ceria karena suasana hatinya sudah amat membaik berkat Galang yang menjemputnya.
Eh, tunggu! Gina lupa sesuatu…. Ah, Yola! Ia belum memberitahu Yola bahwa ia pergi ke prom night malam ini bersama Galang!

Di saat yang bersamaan, ponsel Gina pun berdering tanda telepon masuk. Yola meneleponnya!

“Hal…”

“Heh, Nenek Lampir! Gak bilang-bilang berangkat sama Galang. Gue tadi ke rumah lu dan kata Kak Juni lu udah jalan sama Galang! Dasar lu ya giliran udah baikan temen dilupain!” kata Yola diseberang telepon langsung mencak-mencak.

“Yola sayangku maaf!! Lupa banget soalnya tadi pas Galang dateng, gue nangis trus benerin make-up deh. Maaf sayang!” kata Gina meminta maaf.

“HHHH… Iya iya. Syukur deh kalo lu sama Galang udah baik-baik aja. Jangan uring-uringan lagi, oke?” pinta Yola.

“Oke!”

“Dah, ya, ketemu disana.” Kata Yola yang langsung menutup teleponnya.

“Di omelin Yola kamu ya?” kata Galang terkikik.

“Iya… gara-gara lupa bilang berangkat sama kamu, padahal tadinya aku mau berangkat sama dia.” Jawab Gina sambil meletakkan ponselnya kembali ke dalam clutch.

Galang dan Gina mendadak diam pekat. Hanya alunan High Hopes dari Kodaline yang mengisi aura di dalam mobil. Gina pun hanya memandang keluar jendela.

Selang beberapa lama kemudian, mereka pun sampai di Hotel Carlton, tempat prom night diadakan oleh penyelenggara sekolah. Usai meminta valet untuk memarkirkan mobil Mercedes Benz milik ayah Galang, ia dengan Gina pun memasuki hotel dan langsung menuju ke hall di lantai tiga.

Setibanya di hall, suasana hiruk pikuk pesta langsung menyambut mereka. Lagu-lagu masa kini bermain hingga menghidupkan suasana. Terlihat DJ Riri sedang bersiap-siap untuk acara puncak nanti. Teman-teman Galang dan Gina pun langsung menyambut riuh mereka.

“Duh, udah baikan nih ceritanya? Jangan galau mulu, Gin, kalo ditinggal Galang main. Entar kehilangan Galang beneran loh.” Kata Mona yang hanya dibalas senyuman dari Gina.

“Eh foto di photobooth gih kalian! Pasangan ter-serasi tahun ini!” kata Vivi sok hebring.

“Iya iya gampang, nanti aja.” Timpal Galang.

“Foto sekarang aja yuk, Lang, entar keburu rame.” Ajak Gina yang dituruti oleh Galang.

Acara demi acara pun dimulai sampai tak terasa sudah diujung acara dan terkesiaplah Gina dan Galang saat mereka ditunjuk sebagai The Queen and The King of Prom Night 2013. Orang-orang sudah tak meragukan hal itu lagi mengingat mereka memang pantas mendapatkannya.

Usai acara jam setengah dua belas malam, tiba-tiba Galang menarik Gina ke dalam lift dan mereka menuju ke lantai lima. Meski kebingungan, Gina terus mengiringi langkahnya dengan Galang hingga tiba di depan kamar bernomor 520.

“Kita istirahat disini ya, Gin, malam ini.” kata Galang sambil menarik tangan Gina memasuki Sweet VIP Room.

Jantung Gina berdetak tak karuan. Hampir mencelos. Bagaimana bisa Galang sudah men-check in kamar ini tanpa persetujuan darinya? Gina pikir ia akan langsung dibawa pulang oleh Galang atau mungkin akan diajak ke restoran mewah dulu. Namun, diluar dugaan, Galang malah membawa Gina ke kamar yang…. Lebih cocok untuk pasangan pengantin baru.
Perasaan Gina mulai tak enak.

“Lang, aku mau pulang.” Kata Gina tegas melepaskan genggaman Galang. Namun Galang malah semakin menggenggamnya lebih kuat lagi.

“Lang, plis, aku emang sayang sama kamu, tapi kita gak harus kayak gini sebelum waktunya!” kata Gina mencoba memberi pengertian.

Ia sadar mereka sudah delapan belas tahun. Sudah mulai ada rasa penasaran akan hal-hal seperti ini dan menganggap diri mereka sudah mulai dewasa. Tapi…. bukan seperti ini caranya.

“Aku gak akan ngapa-ngapain kamu, Gin. Kita cuma istirahat. Aku berani jamin keamanan kamu.” Kata Galang menatap Gina lekat-lekat.

“Enggak, Lang. Kalo setan lewat, hal yang gak diinginkan bisa aja terjadi. Kamu tidur aja disini malam ini, ya. Aku mau pulang.” Kata Gina melepas genggaman Galang dengan perlahan.

Tak terduga, Galang langsung memeluknya dari belakang.

“Tadi kamu bilang kita udah hampir satu bulan gak ketemu, kan? Kamu bilang, kamu kangen aku, kan? Aku juga sama, Gin. Aku mau ngabisin waktu lebih banyak lagi sama kamu.” Kata Galang berbisik ditelinga Gina.

“Iya aku ngerti. Tapi kan masih ada besok-besok, Lang.” timpal Gina mengusap lembut tangan Galang yang melingkar di lehernya dan sesekali mengecup pipi Galang.

Besok-besok? Entah kenapa Gina meragukan kalimat itu. Galang pun melepas pelukannya.

“Yaudah, yuk. Aku antar kamu pulang.” Kata Galang.

Akhirnya, Gina pun pulang diantar Galang. Tak butuh waktu lama, mereka sudah sampai di depan rumah Gina. Gina pun hendak turun dari mobil Galang, namun sebelumnya ia mendekatkan wajahnya hendak mencium pipi Galang.

Namun…….

Galang menjauh.

Gina dapat merasakan ada benteng yang berusaha Galang bangun. Mungkinkah Galang marah padanya karena ia menolak untuk ‘istirahat’ dengannya di kamar hotel? Ah, gak mungkin.

Dengan ragu, Gina pamit dan keluar dari mobil Galang. Galang pun memutar balik mobilnya dan langsung menancap gas dengan kekuatan penuh seakan-akan ia sedang kesal terhadap sesuatu.

Lang…….. kenapa?

***

Hula!!! Kembali lagi dengan salah satu BAB di buku yang saya buat dengan judul With Past. Sudah ada di Wattpad
Tapi belum completed alias masih on going! HEHEHE
Semoga suka ya! Lots of love! 

SIMILAR POSTS

Kamis, 11 Mei 2017

Senda gurau



Aku jadi merasa bodoh sudah jatuh cinta terhadap seseorang yang bahkan aku tak tau apa arti dari bentuk perhatiannya selama ini.

Apa semua ini hanya senda gurau? Apa semua ini hanya permainan? Atau hanya aku yang terlalu serius menanggapi?

Semua perlakuan khususmu? Semua hal yang bahkan kau lakukan untukku, apa itu hanya bercandaanmu saja?

Aku selalu bertanya-tanya, tak adakah rindumu untukku disana? Aku disini selalu menunggumu sendirian. Aku disini selalu mengkhawatirkan kabarmu sendirian.

Miris ya? Setelah luka yang mereka torehkan, aku mencoba untuk memberanikan diri agar tak takut jatuh cinta lagi. Tapi semua perlakuanmu malah membuatku meratap sepi.

Sekarang bagaimana aku sanggup menjalani hari-hari kalau rindunya sudah banyak begini? Sekarang bagaimana aku sanggup membaca tulisan ini kalau dipikiranku hanyalah sosok yang bahkan aku tak tau bagaimana perasaanya terhadapku?

Aku hanya bisa mendongak ke langit. Merasakan setetes airmata yang akhirnya tak kuasa kubendung lagi.

Kau disana. Lagi-lagi kau hanya diam memperhatikanku. Tak kau lihatkah aku mulai terluka? Tak lihatkah kau aku mulai mencintaimu sebegitu dalam?

Tolong lakukan sesuatu! Jangan hanya diam disana! Beri aku kepastian! Beri aku kejelasan! Beri aku kekuatan kalau memang kau tak pernah merasakan hal yang sama kepadaku!

Atau selama ini kau hanya mencari-cari sensasi? Melihat ada perempuan terluka dan meratap sepi sepertiku agar dapat kau permainkan sesuka hati?

Terlihat kejam dan berlebihan memang. Tapi bagaimana kalau itu benar? Bagaimana kalau memang aku jatuh cinta sendirian sementara kau tak merasakan apapun disana?

Apa?? Lagi? Aku jatuh cinta sendirian lagi???

Kau tak tau betapa pedihnya hal itu! Kau tenggelam ke dalam arus yang kau buat sendiri. Awalnya kau tak takut karena kau rasa, dia –seseorang yang kau cintai- ada bersamamu. Pada nyatanya kau akan tenggelam sendirian ke dalam lautan tak berdasar, ke dalam lubang hitam yang entah kemana akan membawa hati dan jiwamu.

Kau tau kan aku ini wanita? Kau tau kan hatiku sangat mudah terluka setelah semua hal yang terjadi padaku?

Aku pernah jatuh sedemikian dalam. Aku pernah terluka sedemikian perih. Sampai aku lupa apa yang terjadi pada hatiku. Sampai aku lupa kalau aku pernah sebahagia dulu.

Terlalu banyak kenangan pahit. Terlalu banyak luka. Terlalu banyak trauma untuk dapat kuobati sendiri. Aku butuh seorang penyembuh. Aku membutuhkannya untuk bisa membuatku kembali bahagia bahwa aku pantas dicintai. Tapi… kau kah itu?

Tidak. Bukan. Kurasa itu bukan kau.

Aku ingin merasakan bentuk emosi lagi. Aku ingin merasakan hangatnya dicintai lagi.

Tapi… sudahlah. Sekarang aku mulai mengerti. Apakah ini ganjaran atas kejahatanku di masa lalu?

Aku pernah melukai seseorang. Aku pernah bertindak jahat. Aku pernah bertindak sesuka hati.

Aku hampir tak menganggapnya ada. Aku hanya menjadikannya selingan dikala bosan datang. Tapi, toh, orang itu berkata dia tetap bahagia bersamaku. Katanya, “Lebih baik mendapatkan hatimu separuh daripada tidak sama sekali.”

Apakah itu yang sedang kualami? Apakah aku hanya memiliki separuh hatimu saja? Tidak kan? Aku benar-benar berharap jawabannya adalah tidak.

Aku ingin mencintaimu dengan keegoisanku. Aku ingin dicintai olehmu sebagaimana obsesimu atas semua mimpi-mimpimu.

Ya, aku ingin menjadi salah satu mimpi yang sedang kau perjuangkan.

Tapi... tidak deh.

Sekarang aku tak sanggup berada di dekatmu kalau yang kau lakukan kepadaku hanyalah tindakan palsu.

Sudahlah, mari kita akhiri semua ini.

Rabu, 03 Mei 2017

A Story of Schizophrenia


Last semester when I was 19, I was on my third semester at campus.

The story began in the beginning of campus life. My parents divorced and I broke up with my first boyfriend whose we’ve been together for 5 years and almost 7months.

I don’t feel anything when it happened. It just happened. So, yeah, I’ve tried my best to accept it. Until I tried to open up my heart and accept someone to be a part of my life. To replaced my first boyfriend. To fixed up my heart. But, the thing is… I don’t know that the ultimate problem starts right there. 

No. I don’t blame him. I blame me. I blame myself for being so such annoying and reckless.

I’m happy with him, I admit. We’ve been always laughing. We’ve been always lovey-dovey. We’ve been always together.

Until one day, suddenly when I’m with him, my hearts are suck. It feels like there’s something big inside it and I have to take it off but I don’t know what was that.

I cried. Just like a baby. Just like a depression girl he ever seen.

It’s so ashamed but I’ve tried to be my-own-self. And I think, he hates me now. He broke us. He broke me. He broke my heart into pieces until I lost the real best of me.

He was tried to change me. He never cares. He never been the one who cares. He always did what he wants. And he never think a bit of my feelings.

He left me alone with my loneliness. He left me when I need someone to talk to. He left me when I need someone who can embrace me tight.

I thought he was the best. But absolutely he’s the worst. He always been like this. He does. He is. He always be the one who broke my heart into pieces.

But, it’s okay we’re not going to talk about him. I’m going to talk about my Schizophrenia after we’re break up.

No, I’m not proud of myself being one of someone who diagnosed by Schizophrenia. It’s shameful. I have to admit it. I’m afraid I’d be labeled as a freak one while I knew I have capability to be a great one.

I’m afraid someone will think that I’m such a freak. I’m afraid there’s no one who can accept as who I am. I’m afraid I’d be left by someone that I love anymore.

It’s hurting. It hurts to know that the one that you love with full of your heart is loving you just not as much as you do.

So, always prepare for the worse. And never trust someone clearly and completely.

Schizophrenia is suck. Really. I can’t appeal my emotion.

I can’t express everything. I can’t talk. I can’t cry. I can’t smile. I can’t laugh. Nor being a sympathy one. I’m suck a jerk, I think.

I can’t listen to the music. I can’t watch movie. I can’t do anything.

I was hating myself for being so freak.

It’s suck. Schizophrenia is really suck.

Ah, I don’t want to feel that way anymore!

My imaginary world always trapped me. I can’t talk to someone. I can’t study. I always trapped on my own mind. I feel it for almost 6months.

It really bothers me. It bothers my life.

I was a co-head committee in my campus and I have to let it go. I’m so disappointed with myself. I also make everyone disappointed with me. I hate it. I hate it more than I hate to have a low grade.

But the point is… I’m okay now. I already came back as one of committee at campus! Yey!

As you see. I’m happier than I ever be😃

And I declare myself that I’m perfectly recovery!!!😋

(Even tho I knew that Schizophrenia is one of difficult case which someday it can bothers me again, but I will try my best to not)

Be grateful with what you have now and always spread happiness! 😉

Rabu, 19 April 2017

Prom Night (Cerpen part of With Past)



“Mereka bilang kita punya semangat pesta yang sama; sang sanguinis yang ingin dianggap, sang sanguinis yang ingin dilihat. Semangat pesta untuk menunjukkan kebolehanmu, kebolehanku yang akhirnya menjadi kebolehan kita”


Satu minggu sudah berlalu, acara prom night akan dimulai malam ini. Sejak chat terakhir itu, Galang mendiamkan chat dari Gina. Sebetulnya, Gina ragu untuk datang ke acara prom night malam ini. Namun, ia harus hadir karena beredar kabar bagi nama-nama yang lolos ke perguruan tinggi negeri akan dibagikan piagam. Selain itu, acara ini adalah acara yang sudah banyak para siswa-siswi tunggu! Jadi ratu atau raja semalam adalah goal para siswa-siswi.

Tak ingin larut dalam kesedihan karena Galang menjadi semakin menjengkelkan, Gina pun beberapa hari sebelumnya langsung pergi bersama Yola ke boutique, me-time di salon dan nyushi di Ichiban.

Tapi, tetap saja hatinya terasa hampa. Ia sudah sangat merindukan Galang tapi Galang sama sekali tak ada itikad baik untuk menghubunginya.

Dan kini, ia sedang memandangi pantulan dirinya di depan cermin. Dengan gaun panjang berwarna pink pastel berenda tersampir di bahu yang sangat melekukkan tubuh semampainya. Di tambah hair do dari sang kakak yang menunjukkan leher jenjang Gina serta make up natural yang membuat penampilannya kian menawan.

Namun, tetap saja penampilannya akan sia-sia apabila tidak ada seseorang untuk ia gandeng. Meski banyak yang ingin pergi bersama Gina, entah kenapa ia dan hatinya hanya ingin Galang seorang meski sebetulnya ia masih gondok setengah mati.

Bunyi klakson mobil tiba-tiba memekik di luar rumah Gina. Yola kah? Tapi, Gina belum memberi aba-aba untuk Yola datang ke rumahnya. Gina pun melongok ke jendela dan betapa terkejutnya ia saat melihat mobil Galang sudah bertengger cantik di depan gerbang rumahnya!

Masih dalam suasana terkejut, tiba-tiba Galang keluar dari mobilnya sudah rapi dengan suite and tie yang sangat pas untuk Galang! Oh my God, jantung Gina hampir mencelos keluar ketika melihat betapa tampannya Galang hari ini! Dengan setelan suite and tie berwarna hitam, Galang keluar mobil sambil membuka jas yang ia kenakan dan ia sampirkan di lengannya.

Tubuh Galang yang atletis pun terbentuk dengan indah dalam balutan klasik yang eye catching! Bagaimana Gina tak takut kehilangan makhluk seperti ini?? Galang pun langsung memencet bel rumah Gina hingga membuat Mbak Opi yang bekerja di rumah Gina membukanya serta mempersilakan Galang untuk masuk.


“Gina nya udah berangkat belum, Mbak?” sayup-sayup suara Galang terdengar saat berbicara dengan Mbak Opi.


Gina yang memperhatikan Galang sedaritadi dari jendela kamarnya yang mengarah langsung ke halaman rumah pun akhirnya langsung disadari Galang. Galang melirik Gina sepintas dengan senyum yang mengembang. Buru-buru Gina menghampirkan gordyn kamarnya.

Ternyata dia udah siap. Kata Galang dalam hati.


“Yuk masuk, Mas Galang. Mbak Gina lagi siap-siap kayaknya.” Kata Mbak Opi.


Galang pun memasuki rumah yang sudah biasa ia kunjungi. Pada sore hari ini suasana rumah Gina tampak sepi. Wajar lah, orang tua Gina sibuk bekerja dan kakaknya Gina, Kak Juni, biasanya tak di rumah, namun entah untuk hari ini.

Dengan ragu Gina keluar kamar dan mendapati Galang sudah duduk di sofa dan ada Mbak Opi yang sudah menyiapkan minum untuknya. Meski manyun, Gina pun langsung duduk di dekat Galang.


“Ada yang benci aku, katanya.” Kata Galang membuka suara saat Gina hendak duduk.


Gina hanya terus memainkan jari dan kukunya.


“Hey, ada yang benci aku, nih?” kata Galang lagi sambil melongok menatap Gina.


Yang ditatap pun hanya membuang muka mencoba sok cuek, padahal dalam hati ia sudah rindu setengah mati!

Dengan lembut, Galang meraih tangan Gina. Mengusapnya pelan dan tersenyum menatap Gina yang sedaritadi terus membuang muka.


“Gin, aku nya kan disini. Kok ngeliatnya ke arah itu terus?” ujar Galang.


Air mata sudah mengembung tertahan di kelopak mata Gina. Namun, kalau ia menangis, make up nya bisa hancur! Dengan keberanian yang Gina coba keluarkan, ia pun memberanikan diri menatap Galang.

Dan… sedetik kemudian…..


“Huaaaaaaaaa! Galang kamu rese!!!!!!!!! Aku kan kangen udah hampir sebulan gak ketemu kamu! Main mulu sama temen! Getol banget update sosmed tapi ngehubungin aku gak bisa!!!!!!” kata Gina meraung-raung yang tak bisa ia tahan lagi.


Galang yang melihatnya pun langsung panik menyambar tisu di meja ruang tamu Gina dan memberikan tisu itu kepada Gina.


“Heeee orang! Udah cantik juga. Make-up nya luntur deh!” pekik Galang.


“Abis kamu nyebelin!!!!” kata Gina lagi memukul-mukul tangan Galang.

Galang pun berpindah posisi lebih dekat dengan Gina lalu mulai mengelus-elus punggung Gina yang terbuka.

“Hehe, maaf ya, Sayang, aku sengaja ngediemin kamu. Abis kamu marah-marah mulu, aku males ngeladeninnya. Dari pada makin panjang, mending gak aku bales kan.” kata Galang menjelaskan.

“Tapi nyebelin!” kata Gina mulai tenang mencubiti tangan Galang.

“Ih, sakit tau dicubit-cubit!” kata Galang menahan tangan Gina.

“Aku mau peluk, Lang…. tapi nanti rambut aku rusak.” Kata Gina mulai manja.

“Iya, sini. Aku hati-hati deh biar rambut kamu gak rusak.” Kata Galang membuka diri agar Gina memeluknya.

“Ehm!” tiba-tiba suara dehaman membuat Gina urung memeluk Galang.

“Hasil karya gue itu! Awas aja kalo rusak kaga gua benerin lagi lu, Gin.” Pekik Kak Juni dari dalam rumah.

“Ada Juni?” tanya Galang kaget.

Kak Juni!” kata Gina mekankan kata ‘Kak’ karena Galang gak sopannya mulai keluar. “Iya doi lagi di rumah seharian. Ini rambut aku yang anuin dia.” Lanjut Gina lagi.

“Pfft.. anuin. Yang, kamu kalo ngomong jangan ambigu.” Ledek Galang.

“Ih maksud aku yang hair do-in rambut aku, Kak Juni.” Ulang Gina.

“Iya iya ngerti.” Kata Galang paham.

“Mau jalan kapan?” tanya Gina.

“Yakin mau jalan sekarang? Kamu gak mau ngaca dulu, gitu?” tanya Galang kembali.

Gina pun langsug buru-buru masuk kamar karena paham maksud Galang. Ia baru saja menangis dan pasti make up nya hancur total! Astaga……. Benar saja. Saat Gina melihat pantulan dirinya di cermin, mascara nya hancur total hingga membuat Gina harus pelan-pelan merapihkannya.

“Galang ih, kok, kamu gak bilang-bilang muka aku ancur begini???” teriak Gina dari dalam kamar yang tak ia sadari Galang sudah memperhatikan Gina dari pintu kamar.

“Mau make-up kamu ancur kayak apa juga, Gin, orang kalo udah cinta mah cinta aja.” Kata Galang hingga membuat Gina tersipu.

“Ih rese! Sana keluar! Malu aku ah.” Kata Gina mendorong Galang keluar dari kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat.

“Aku rapihin dandanan dulu trus nanti kita langsung jalan ya.” Kata Gina bersandar di balik pintu kamarnya dengan hati yang berbunga-bunga. Galang benar-benar pria idamannya!

“Oke. Aku tunggu di ruang tamu ya, Gin. Harus cepet loh.” Timpal Galang.

Dengan sigap, Gina langsung membenahi make-up nya. Dalam hitungan menit, make-up Gina pun sudah rapih total. Ia pun langsung menyambar high heels silver miliknya besert clutch silver dari dalam lemarinya. Dengan anggun, Gina melangkah keluar kamar dan menuju ke ruang tamu.

Galang pun terkesima dengan aura anggun yang Gina keluarkan. Dengan bangga, Galang langsung berdiri dan menawarkan lengan kokohnya untuk digamit oleh Gina. Gina tertawa kecil melihat Galang berlaga seperti pangeran dari negeri dongeng. Gina pun menggamit lengan Galang sambil berjalan keluar rumah bak seorang putri kerajaan.

“Kak Juni, aku jalan ya.” Teriak Gina kepada kakaknya.

“Yooo, hati-hati, Lang.” balas Kak Juni sambil meminta Galang untuk berhati-hati.

Tunggu… ada yang berbeda. Cara Galang melihat Gina sedikit berbeda. Ada apa ini? Ah, paling hanya karena mereka habis bertengkar. Pikir Kak Juni.

***

Sepanjang perjalanan, Galang membiarkan Gina menyetel musik kesukaannya. Gina terus berdendang ceria karena suasana hatinya sudah amat membaik berkat Galang yang menjemputnya.
Eh, tunggu! Gina lupa sesuatu…. Ah, Yola! Ia belum memberitahu Yola bahwa ia pergi ke prom night malam ini bersama Galang!

Di saat yang bersamaan, ponsel Gina pun berdering tanda telepon masuk. Yola meneleponnya!

“Hal…”

“Heh, Nenek Lampir! Gak bilang-bilang berangkat sama Galang. Gue tadi ke rumah lu dan kata Kak Juni lu udah jalan sama Galang! Dasar lu ya giliran udah baikan temen dilupain!” kata Yola diseberang telepon langsung mencak-mencak.

“Yola sayangku maaf!! Lupa banget soalnya tadi pas Galang dateng, gue nangis trus benerin make-up deh. Maaf sayang!” kata Gina meminta maaf.

“HHHH… Iya iya. Syukur deh kalo lu sama Galang udah baik-baik aja. Jangan uring-uringan lagi, oke?” pinta Yola.

“Oke!”

“Dah, ya, ketemu disana.” Kata Yola yang langsung menutup teleponnya.

“Di omelin Yola kamu ya?” kata Galang terkikik.

“Iya… gara-gara lupa bilang berangkat sama kamu, padahal tadinya aku mau berangkat sama dia.” Jawab Gina sambil meletakkan ponselnya kembali ke dalam clutch.

Galang dan Gina mendadak diam pekat. Hanya alunan High Hopes dari Kodaline yang mengisi aura di dalam mobil. Gina pun hanya memandang keluar jendela.

Selang beberapa lama kemudian, mereka pun sampai di Hotel Carlton, tempat prom night diadakan oleh penyelenggara sekolah. Usai meminta valet untuk memarkirkan mobil Mercedes Benz milik ayah Galang, ia dengan Gina pun memasuki hotel dan langsung menuju ke hall di lantai tiga.

Setibanya di hall, suasana hiruk pikuk pesta langsung menyambut mereka. Lagu-lagu masa kini bermain hingga menghidupkan suasana. Terlihat DJ Riri sedang bersiap-siap untuk acara puncak nanti. Teman-teman Galang dan Gina pun langsung menyambut riuh mereka.

“Duh, udah baikan nih ceritanya? Jangan galau mulu, Gin, kalo ditinggal Galang main. Entar kehilangan Galang beneran loh.” Kata Mona yang hanya dibalas senyuman dari Gina.

“Eh foto di photobooth gih kalian! Pasangan ter-serasi tahun ini!” kata Vivi sok hebring.

“Iya iya gampang, nanti aja.” Timpal Galang.

“Foto sekarang aja yuk, Lang, entar keburu rame.” Ajak Gina yang dituruti oleh Galang.

Acara demi acara pun dimulai sampai tak terasa sudah diujung acara dan terkesiaplah Gina dan Galang saat mereka ditunjuk sebagai The Queen and The King of Prom Night 2013. Orang-orang sudah tak meragukan hal itu lagi mengingat mereka memang pantas mendapatkannya.

Usai acara jam setengah dua belas malam, tiba-tiba Galang menarik Gina ke dalam lift dan mereka menuju ke lantai lima. Meski kebingungan, Gina terus mengiringi langkahnya dengan Galang hingga tiba di depan kamar bernomor 520.

“Kita istirahat disini ya, Gin, malam ini.” kata Galang sambil menarik tangan Gina memasuki Sweet VIP Room.

Jantung Gina berdetak tak karuan. Hampir mencelos. Bagaimana bisa Galang sudah men-check in kamar ini tanpa persetujuan darinya? Gina pikir ia akan langsung dibawa pulang oleh Galang atau mungkin akan diajak ke restoran mewah dulu. Namun, diluar dugaan, Galang malah membawa Gina ke kamar yang…. Lebih cocok untuk pasangan pengantin baru.
Perasaan Gina mulai tak enak.

“Lang, aku mau pulang.” Kata Gina tegas melepaskan genggaman Galang. Namun Galang malah semakin menggenggamnya lebih kuat lagi.

“Lang, plis, aku emang sayang sama kamu, tapi kita gak harus kayak gini sebelum waktunya!” kata Gina mencoba memberi pengertian.

Ia sadar mereka sudah delapan belas tahun. Sudah mulai ada rasa penasaran akan hal-hal seperti ini dan menganggap diri mereka sudah mulai dewasa. Tapi…. bukan seperti ini caranya.

“Aku gak akan ngapa-ngapain kamu, Gin. Kita cuma istirahat. Aku berani jamin keamanan kamu.” Kata Galang menatap Gina lekat-lekat.

“Enggak, Lang. Kalo setan lewat, hal yang gak diinginkan bisa aja terjadi. Kamu tidur aja disini malam ini, ya. Aku mau pulang.” Kata Gina melepas genggaman Galang dengan perlahan.

Tak terduga, Galang langsung memeluknya dari belakang.

“Tadi kamu bilang kita udah hampir satu bulan gak ketemu, kan? Kamu bilang, kamu kangen aku, kan? Aku juga sama, Gin. Aku mau ngabisin waktu lebih banyak lagi sama kamu.” Kata Galang berbisik ditelinga Gina.

“Iya aku ngerti. Tapi kan masih ada besok-besok, Lang.” timpal Gina mengusap lembut tangan Galang yang melingkar di lehernya dan sesekali mengecup pipi Galang.

Besok-besok? Entah kenapa Gina meragukan kalimat itu. Galang pun melepas pelukannya.

“Yaudah, yuk. Aku antar kamu pulang.” Kata Galang.

Akhirnya, Gina pun pulang diantar Galang. Tak butuh waktu lama, mereka sudah sampai di depan rumah Gina. Gina pun hendak turun dari mobil Galang, namun sebelumnya ia mendekatkan wajahnya hendak mencium pipi Galang.

Namun…….

Galang menjauh.

Gina dapat merasakan ada benteng yang berusaha Galang bangun. Mungkinkah Galang marah padanya karena ia menolak untuk ‘istirahat’ dengannya di kamar hotel? Ah, gak mungkin.

Dengan ragu, Gina pamit dan keluar dari mobil Galang. Galang pun memutar balik mobilnya dan langsung menancap gas dengan kekuatan penuh seakan-akan ia sedang kesal terhadap sesuatu.

Lang…….. kenapa?

***

Hula!!! Kembali lagi dengan salah satu BAB di buku yang saya buat dengan judul With Past. Sudah ada di Wattpad
Tapi belum completed alias masih on going! HEHEHE
Semoga suka ya! Lots of love!