Cerpen,
Takperlu Kuungkapkan (2)
Semalaman
Andini tidak bisa tidur memikirkan Randy Assegaf. Foto yang di genggampun tak
terlepas dari tidurnya.
***
“Nay!
Naya! Disini!” teriak Dini memanggil
seorang wanita dengan tinggi semampai di kuncir kuda. Anak rambutnya dibiarkan
menari di pelipisnya. Semakin menegaskan rahang di wajah ovalnya. Wanita itupun
berjalan tergesa-gesa menuju arah suara.
“Ada
apa, Din? Se-urgent apa sih
beritanya? Sampe mimpi indah gue terganggu ngedenger i-messages dari lo,” cerocos
Naya sambil mecondongkan wajahnya.
“Hehe,
sorry beib.. lo mau pesen apa? Sini gue pesenin,”
“Bayarin
sekalian yaa. Gue lagi pengen gado-gado Bu Marni, nih.”
“Sip,”
Andini
berjalan anggun menyusuri kerumunan. Padahal masih jam sembilan pagi, tapi
Cafetaria FMIPA sudah mulai ramai. Mungkin banyak yang belum sarapan. Maklum,
kebanyakan anak disini adalah anak kos.
Andini
pun memesan pesanan Naya. Selang beberapa lama, gado-gado pesanannya pun jadi.
“Ah,
thankyou my bestieee,” ucap Naya dengan nada bangga ketika memanggil wanita
cantik didepannya dengan sebutan ‘bestie’
“My
pleasure as well, hun”
“Oke,
sambil gue makan, lo harus mulai cerita. Ada apa sebenarnya? Sampe lo susah
tidur dan kemudian punya mata panda kayak begini?” ucap Naya khawatir.
Andini
mulai mengeluarkan selembar foto.
“Jangan
lihat belakang foto ini, sebelum lo kenali betul siapa orangnya! Lo kan humas
di kampus kita, lo pasti kenal sedikit-banyak mahasiswa disini kan?” ucap
Andini sebelum memberikan foto tersebut.
“Bawel.
Sini coba gue liat!” ucap Naya tak sabaran.
Naya
menerka-nerka foto yang sedang dipegangnya. Antara ragu, dia akhirnya menjawab.
“Dia
bukan anak sini. Anak fakultas lain. Lebih tepatnya, fakultas psikologi” ucap
Naya gamblang.
“Serius?
Semester berapa?”
“Yang
jelas, dia senior kita.......... Tunggu. Masa lo gak inget sih dia siapa?” ucap
Naya setengah mengunyah gado-gadonya.
“Enggak.
Emang dia siapa?” ucap Andini bingung.
Naya geleng-geleng
“Dia Kak Randy yang nolong elo waktu lo kesasar di hutan. Dia senior cowok yang
paling pertama sadar pas lo ilang. Lo gak inget?”
“Astagfirullah.
Enggak, gue gak inget sama sekali. Lo kan tau gimana keadaan gue waktu itu”
“Iya
bener juga. Lo kacau banget. Tanah dimana-mana, lo pun gak bisa melek karena
banyak tanah di mata lo. Lo emang abis main tanah? Haha,” ucap Naya meledek
“Jahat
lo, beib. Gue masih trauma nih sama hutan,”
“Iya
iya, sorry.” Ucap Naya sambil minum Es Teh manis milik Andini “Sekarang, gue
boleh liat belakangnya?”
“Ya,
silahkan. Toh, lo udah tau siapa orangnya.”
“Wuidih.
Ada nomer ponselnya segala. Hmmm, pertanyaan gue sekarang adalah... darimana lo
dapet foto ini?” tanya Naya penuh selidik.
“Nih,
dari halaman paling belakang buku ini.” Andini menyodorkan buku yang tidak
terlalu tebal dengan cover bergambar sepasang kekasih yang sedang bergandengan
dan dibelakangnya ada seorang pria yang memperhatikan dengan penuh kepedihan.
“Buku
ini??? Buku dari penggemar rahasia lo?! Gilaaaaaa! Beruntung banget lo di
taksir sama Kak Randy!” teriak Naya sumringah.
“Ett
bocah. Pelan-pelan!”
“Ups,
sorry. Jadi, lo mau cari tau tentang dia?” tanya Naya penuh selidik.
“Mungkin,”
“Trus,
lo sama Lana gimana?”
“Gak
gimana-mana. Gue cuma penasaran kok. Gak akan berimbas ke hubungan gue sm dia,”
‘mudah-mudahan’ lanjut Andini dalam hati.
***
Pagi
hari yang cerah ketika tiga orang gadis memperhatikan seorang pria tampan
memarkirkan Kawasaki Ninja berwarna hijau miliknya.
“Sana
buruan! Ntar Kak Lana keburu pergi,” kata salah satu gadis.
“Iya
sana! Jangan kayak kemarin-kemarin ya! Bisanya cuma ‘Hai Kak Lana, apa kabar?’
setelah dia jawab, kamu malah kabur.” Kata
gadis lainnya
“Aku
takut. Duh, doain aku ya!” ucap gadis yang sedaritadi di desak oleh
teman-temannya.
Ketiga
gadis ini masih lengkap dengan atribut OSPEK mereka. Politeknik Negeri Jakarta
memang sedang melangsungkan OSPEK. Gadis berpipi tirus terus berjalan dengan
keyakinan seperti biasa. Segenggam cokelat yang ia bawa selalu terlihat sama
seperti cokelat yang ia bawa hari kemarin. Namun, siapa sangka bahwa itu adalah
cokelat yang baru saja ia beli di supermarket. Dengan tambahan pita hijau di
atas bungkus cokelat yang masih sangat terlihat rapi.
Seketika
gadis yang membawa cokelat itu berhenti. Ia ragu. Ia menoleh ke arah teman-temannya.
Seakan bertanya, teman-temannya berkata “Ayo terus! Cepet! Ntar keburu pergi!”
dengan setengah keberanian yang mulai memudar. Gadis yang membawa cokelat
kemudian setengah berlari menghampiri pria tampan dengan leather jacket-nya yang sedang berbincang dengan salah satu
temannya di pelataran parkiran.
“Hai,
Kak Lana. Apa kabar?” tanya sang gadis dengan meletakkan cokelatnya di belakang
punggungnya.
“Baik,”
yang di sapa pun hanya menoleh sepintas kemudian melanjutkan obrolannya.
Sang gadis
hendak kabur seperti kemarin pagi di tempat yang sama. Namun teman-temannya
mencegat dan meraih cokelat yang di genggamnya.
“Hai,
Kak Lana. Ini cokelat dari Amel. Dimakan ya, Kak. Semoga kakak suka,” kata
salah satu temannya sambil menunjuk ke arah Amel yang tengah memerah.
Teman Lana
pun tertawa kecil mendengarnya. Kemudian berkata “Gue duluan ya, Lan. Di panggil
Tony,” masih sambil tertawa. Kali ini, tawanya menjadi nyaring.
“Kenapa
gak kabur aja lagi kayak kemaren? Gue males ngadepin anak ABG kayak kalian. Lain
kali kalo ada apa-apa to the point
aja. Gak usah basa-basi dengan nanya kabar. Kayak kerabat lama aja! Emang lo
siapanya gue?” ucap Lana pedas.
Wajah Amel
kian memerah. Bibirnya menjadi pucat. Tangannya mendingin. Matanya panas. Amel tidak
menyangka akan di sembur sedemikian rupa oleh Kak Lana. Dia memang pria yang
dingin dan ketus. Amel tau hal itu. Tapi Amel tak menyangka perbuatannya balakangan
ini malah membuatnya jengah.
Kak
Lana pun pergi tanpa menyentuh cokelat dari Amel.
“Kak! Gak
seharusnya kakak bersikap kayak gitu! Mentang-mentang kakak seorang senior. Bisa
gitu ya nyemprot kata-kata pedas ke junior?” kata teman Amel yang lainnya.
Kak
Lana pun tetap berjalan tanpa menoleh. Namun dalam hatinya berkata.
“Tidak.
Jangan lagi. Jangan terulang lagi.”
0 comments: