Tampilkan postingan dengan label Gusti Maulana Khalifatullah. Tampilkan semua postingan

Menjadi Dewasa



When I was a kid, I used to think what will I be when I grow up. Now, just a middle-little-step to be an adult but I’m beginning to endure it.
Guys, jadi orang dewasa itu gak enak. Banyak pengeluaran, banyak tanggungan, banyak hal yang dulunya ditanggung orang tua jadi lo tanggung sendiri.

My dad stops giving me money routine a year ago since I already have a job.


Tapi semua gak seenak yang lo pikirin, maybe you’ll think ‘Gaji lo gede, men. Wajar lah kalau bokap lo udah gak ngasih lagi.’

Eits, hal ‘enak’ yang lo pikirin gak semudah itu gue dapetin.

Okay, I admit it I got one of my dream job. When I was in Junior High School, I wanna be a writer. And here I am being an article re-writer at one of viral website. But it’s not as easy as you think. Maybe I’m a lucky –some people will think like that, but actually I know this is the answer with all of the things I want when I tell Allah.

Kalau lo kira hidup gue baik-baik aja. Lo salah.

Life is an adventure.

Slogan iklan rokok itu bener loh. Hampir setahun gue ngerasain titik terendah dan titik pembelajaran serta pendewasaan di hidup gue. Mulai dari lulus sekolah farmasi tahun 2014 kemarin, gue pikir kehidupan gue akan semakin baik tapi ternyata banyak banget kerikil hidup yang gue alamin.
Mulai dari pendewasaan diri gue bahkan sampai permasalahan keluarga.

Nobody knows about this except Gusti *cieee( ・´Ð·・`)


Tempat nangis, tempat ketawa, tempat gue cerita segala hal mulai dari kepengen kentut –anjir jorok, sampe hal-hal berat kayak kangen masa lalu –serius loh segini terbukanya gue dengan Gusti- dan Gusti tau semuanya tapi tetep sabar ngadepin tingkah gue.

Okay kembali ke proses pendewasaan.

Semenjak memutuskan gakmau balik menjadi asisten apoteker alias banting stir, nyokap sempet gak sejutu karena ngerasa sayang ilmunya tapi toh segala keilmuan pasti kepake kan? Sampe sekarang juga kalau saudara atau tetangga-tetangga nanya obat masih sama gue dan Alhamdulillah gue masih inget dan bisa kejawab. Sempet cekcok, berantem adu mulut karena gue mau nunjukin ini loh jalan yang gue ambil dan plis beri keridhoan.

Ditambah dulu setelah resign dari rumah sakit gue gak langsung dapet pekerjaan enak. Harus ngerasain yang namanya gaji bulanan gak tetap. Mulai dari 100-300rb pun pernah gue rasain. Jadi, segala sesuatunya harus dari nol kayak pom bensin.
Gak deng. Quote favorite gue dari Apoteker tempat gue kerja dulu kayak gini,

“Kalau mau nyampe 100 harus mulai dari 0”


Got it? Ngerti lah ya soalnya gue males jelasin hahahampun.

And yep, sekarang, di usia 18 tahun meski baru setengah tahun ngerasain enaknya kerja, gue udah harus mulai menata hidup. Mulai dari nabung bulanan, bayar asuransi kesehatan bulanan dari pemerintah –yang ituloh inisialnya B belakangnya S tengahnya PJ- iya, gue bayar bulanannya sendiri. Ditambah bokap udah gak ngasih uang jajan rutin kan –ya, sebulan sekali minta 10rb mah dikasih- jadi gue harus pinter-pinter manage keuangan karena emang pada dasarnya wanita harus pinter ngatur keuangan. Soalnya nanti kalau nikah sama cowok yang rata-rata boros itu bisa susah deh. Trus pengeluaran pulsa internet, daily skincare, baju-baju baru, jalan sama temen, ke salon dan macam-macam yang masih pengen dirasain anak-anak muda kayak gue. Dan itu semua harus pinter-pinter gue atur kalo enggah, matilah gak ada sisa.

Untungnya sih keperluan kuliah masih dibantu bokap sampai detik ini tapi gatau deh semester depan (hah doakan yah biar dibiayai sampai lulus bahkan sampai S2)

Jadi intinya, jadi orang dewasa itu sulit makanya hidup jangan dipersulit karena emang udah sulit nanti makin sulit jadi tambah sulit.

But life’s must go on, perlahan tapi pasti nanti juga lama-lama terbiasa sama 'keras’nya dunia.
Yok se-ma-ngat!

SIMILAR POSTS

Kebahagiaan yang sederhana

Aku belum pernah merasakan hal ini sebelumnya.

Mungkin, memeluknya saat ia mengendarai motor adalah hal yang biasa. Tapi untuk hari ini, kebahagiaan yang menyelimuti hatiku seakan tak ternilai.
Lalu, meletakkan daguku di pundaknya, dan membiarkannya menyentuh hidung atau pipi atau juga bibirku dengan kelembutan jarinya merupakan hal yang biasa kurasakan.
Tapi kali ini, saat aku menemaninya melakukan hobinya, aku merasakan hal yang berbeda, aku menjadi semakin yakin sosoknya hanya untukku.

Saat ia datang dengan motor hijaunya, aku sempat ingin keluar dahulu dan berkata bahwa aku tak jadi ikut. Namun, otakku bekerja lebih cepat. Aku memikirkan "Seandainya kubiarkan dia pergi dengan teman-temannya, aku akan di diami begitu saja. Ya, lebih baik aku ikut. Aku bisa melihatnya menendang2 benda bulat yang sangat disukainya," fikirku.
Akhirnya aku menemaninya. Walaupun begitu sampai parkiran sempat ada percakapan yang membuatnya kaget.
"Aku pulang aja kaliya," kataku menerka-nerka.
"Loh, Sayang? Kenapa? Kok gitu?" tanyanya kaget.
"Aku takut bete. Aku juga takut di marahi Umi kalo pulang kesorean," jawabku menunduk dengan menatap kosong ke buku yang kubawa.
"Sebentar kok, jam 4 sore udah sampe rumah deh" katanya dengan seulas senyum dibibir tipisnya.
"Hmm, ya, okelah," kataku pada akhirnya.
Kami berjalan bersandingan seperti biasa. Saat berjalan dengan perjalanan yang cukup jauh, kakiku mulai lemas karena belum makan.
"Duh, kakiku kok lemes banget ya?" tanyaku.
"Lemes, Sayang? Mau aku gendong?" tanyanya menggoda.
"Hey, yang bener aja."
Kekasihku hanya tertawa. walaupun saat itu jalan amat sepi, tetap saja aku malu.

Saat hampir sampai gor, kami masih harus menaiki tanjakan yang tidak terlalu tinggi, tetapi membuatku sangat lemas. Saat itu juga Ia langsung menyambar tanganku, dan kubiarkan Ia menariknya sesuka hatinya.
Begitu sampai di gor, aku duduk dengan tak bertenaga. Ia juga duduk di sampingku sambil merayu dan memanjakanku seperti biasa. Menarik hidungku, mencubit pipiku bahkan meraup wajahku. Semua sudah biasa kurasakan walau sering ku mencelos berkata "Jangan pegang-pegang! Entar kalau aku jadi jerawatan gimana? Tangan kamu kan banyak kumannya," dan seperti biasa pula Ia hanya tertawa mendengarnya.
Huh, kekasihku. Ia memang selalu seperti itu. Meledek.
"Sayang, lemes banget ya?" katanya dengan setengah berdiri dan memanjakan dihadapanku dan teman-temannya.
"Iya nih aduh, kakiku ngilu disini, enggak tau kenapa," kataku bingung sambil menunjuk ke betis di kaki kiriku. 
Tanpa diminnta, Ia langsung duduk dan meletakan kakiku di atas pahanya. Kemudian Ia mulai memijat kakiku mulai dari lutut hingga betis. Aku hanya mengerang. Karena, jujur sekali. Kakiku benar-benar ngilu yang teramat sangat. Ia tertawa melihatku mengerang sambil menahan tawa. Aku menahan tawa karena juga geli. Ya, jujur saja, aku memang tipe orang yang mudah geli.

***

Sebelum bermain, seperti biasa, Ia meminta semangat padaku melalu sebuah high five dan Ia juga merangkul serta meremas sedikit pundak kurusku. Saat Ia mulai bermain dengan benda bulatnya, aku hanya memerhatikan sesekali dan membaca novel yang kubaca. Baru bermain beberpa menit, Ia menyudahinya karena suatu alasan. Aku mendengarkan curahan hatinya dengan seksama dengan Ia di samping kiriku. Kami dekat. Sangat\dekat.Pundak kami menyatu, dan aku mulai merebahkan kepala lelahku di pundaknya yang kokoh. Karena sadar itu tempat umum, aku menarik kembali kepalaku dan tetap mendengarkan curahan hatinya. Tak lama, kami pulang. Dengan masih sangat lelah aku berjalan sampai ketempat dimana motor kekasihku di parkirkan. Aku sangat lemas, hingga akhirnya Ia menyadari dan kembali menggandeng lembut tanganku. Aku sangat menyukai hal itu. Walau tak sering Ia menggandengnya, tapi aku sangat bahagia. Hanya 2-3x Ia menggandengku tapi menjadi sesuatu yang membuatku tersenyum sepanjang jalan. Aku merasa terlindungi dan dikasihi diperlakukan seperti itu. Walau sering aku merasakannya, tapi kali ini semakin paham arti dari sosok hadirnya yang hanya mencintaiku. Dan hanya untukku. Semoga.

SIMILAR POSTS

Tampilkan postingan dengan label Gusti Maulana Khalifatullah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gusti Maulana Khalifatullah. Tampilkan semua postingan

Jumat, 18 September 2015

Menjadi Dewasa



When I was a kid, I used to think what will I be when I grow up. Now, just a middle-little-step to be an adult but I’m beginning to endure it.
Guys, jadi orang dewasa itu gak enak. Banyak pengeluaran, banyak tanggungan, banyak hal yang dulunya ditanggung orang tua jadi lo tanggung sendiri.

My dad stops giving me money routine a year ago since I already have a job.


Tapi semua gak seenak yang lo pikirin, maybe you’ll think ‘Gaji lo gede, men. Wajar lah kalau bokap lo udah gak ngasih lagi.’

Eits, hal ‘enak’ yang lo pikirin gak semudah itu gue dapetin.

Okay, I admit it I got one of my dream job. When I was in Junior High School, I wanna be a writer. And here I am being an article re-writer at one of viral website. But it’s not as easy as you think. Maybe I’m a lucky –some people will think like that, but actually I know this is the answer with all of the things I want when I tell Allah.

Kalau lo kira hidup gue baik-baik aja. Lo salah.

Life is an adventure.

Slogan iklan rokok itu bener loh. Hampir setahun gue ngerasain titik terendah dan titik pembelajaran serta pendewasaan di hidup gue. Mulai dari lulus sekolah farmasi tahun 2014 kemarin, gue pikir kehidupan gue akan semakin baik tapi ternyata banyak banget kerikil hidup yang gue alamin.
Mulai dari pendewasaan diri gue bahkan sampai permasalahan keluarga.

Nobody knows about this except Gusti *cieee( ・´Ð·・`)


Tempat nangis, tempat ketawa, tempat gue cerita segala hal mulai dari kepengen kentut –anjir jorok, sampe hal-hal berat kayak kangen masa lalu –serius loh segini terbukanya gue dengan Gusti- dan Gusti tau semuanya tapi tetep sabar ngadepin tingkah gue.

Okay kembali ke proses pendewasaan.

Semenjak memutuskan gakmau balik menjadi asisten apoteker alias banting stir, nyokap sempet gak sejutu karena ngerasa sayang ilmunya tapi toh segala keilmuan pasti kepake kan? Sampe sekarang juga kalau saudara atau tetangga-tetangga nanya obat masih sama gue dan Alhamdulillah gue masih inget dan bisa kejawab. Sempet cekcok, berantem adu mulut karena gue mau nunjukin ini loh jalan yang gue ambil dan plis beri keridhoan.

Ditambah dulu setelah resign dari rumah sakit gue gak langsung dapet pekerjaan enak. Harus ngerasain yang namanya gaji bulanan gak tetap. Mulai dari 100-300rb pun pernah gue rasain. Jadi, segala sesuatunya harus dari nol kayak pom bensin.
Gak deng. Quote favorite gue dari Apoteker tempat gue kerja dulu kayak gini,

“Kalau mau nyampe 100 harus mulai dari 0”


Got it? Ngerti lah ya soalnya gue males jelasin hahahampun.

And yep, sekarang, di usia 18 tahun meski baru setengah tahun ngerasain enaknya kerja, gue udah harus mulai menata hidup. Mulai dari nabung bulanan, bayar asuransi kesehatan bulanan dari pemerintah –yang ituloh inisialnya B belakangnya S tengahnya PJ- iya, gue bayar bulanannya sendiri. Ditambah bokap udah gak ngasih uang jajan rutin kan –ya, sebulan sekali minta 10rb mah dikasih- jadi gue harus pinter-pinter manage keuangan karena emang pada dasarnya wanita harus pinter ngatur keuangan. Soalnya nanti kalau nikah sama cowok yang rata-rata boros itu bisa susah deh. Trus pengeluaran pulsa internet, daily skincare, baju-baju baru, jalan sama temen, ke salon dan macam-macam yang masih pengen dirasain anak-anak muda kayak gue. Dan itu semua harus pinter-pinter gue atur kalo enggah, matilah gak ada sisa.

Untungnya sih keperluan kuliah masih dibantu bokap sampai detik ini tapi gatau deh semester depan (hah doakan yah biar dibiayai sampai lulus bahkan sampai S2)

Jadi intinya, jadi orang dewasa itu sulit makanya hidup jangan dipersulit karena emang udah sulit nanti makin sulit jadi tambah sulit.

But life’s must go on, perlahan tapi pasti nanti juga lama-lama terbiasa sama 'keras’nya dunia.
Yok se-ma-ngat!

Rabu, 12 Juni 2013

Kebahagiaan yang sederhana

Aku belum pernah merasakan hal ini sebelumnya.

Mungkin, memeluknya saat ia mengendarai motor adalah hal yang biasa. Tapi untuk hari ini, kebahagiaan yang menyelimuti hatiku seakan tak ternilai.
Lalu, meletakkan daguku di pundaknya, dan membiarkannya menyentuh hidung atau pipi atau juga bibirku dengan kelembutan jarinya merupakan hal yang biasa kurasakan.
Tapi kali ini, saat aku menemaninya melakukan hobinya, aku merasakan hal yang berbeda, aku menjadi semakin yakin sosoknya hanya untukku.

Saat ia datang dengan motor hijaunya, aku sempat ingin keluar dahulu dan berkata bahwa aku tak jadi ikut. Namun, otakku bekerja lebih cepat. Aku memikirkan "Seandainya kubiarkan dia pergi dengan teman-temannya, aku akan di diami begitu saja. Ya, lebih baik aku ikut. Aku bisa melihatnya menendang2 benda bulat yang sangat disukainya," fikirku.
Akhirnya aku menemaninya. Walaupun begitu sampai parkiran sempat ada percakapan yang membuatnya kaget.
"Aku pulang aja kaliya," kataku menerka-nerka.
"Loh, Sayang? Kenapa? Kok gitu?" tanyanya kaget.
"Aku takut bete. Aku juga takut di marahi Umi kalo pulang kesorean," jawabku menunduk dengan menatap kosong ke buku yang kubawa.
"Sebentar kok, jam 4 sore udah sampe rumah deh" katanya dengan seulas senyum dibibir tipisnya.
"Hmm, ya, okelah," kataku pada akhirnya.
Kami berjalan bersandingan seperti biasa. Saat berjalan dengan perjalanan yang cukup jauh, kakiku mulai lemas karena belum makan.
"Duh, kakiku kok lemes banget ya?" tanyaku.
"Lemes, Sayang? Mau aku gendong?" tanyanya menggoda.
"Hey, yang bener aja."
Kekasihku hanya tertawa. walaupun saat itu jalan amat sepi, tetap saja aku malu.

Saat hampir sampai gor, kami masih harus menaiki tanjakan yang tidak terlalu tinggi, tetapi membuatku sangat lemas. Saat itu juga Ia langsung menyambar tanganku, dan kubiarkan Ia menariknya sesuka hatinya.
Begitu sampai di gor, aku duduk dengan tak bertenaga. Ia juga duduk di sampingku sambil merayu dan memanjakanku seperti biasa. Menarik hidungku, mencubit pipiku bahkan meraup wajahku. Semua sudah biasa kurasakan walau sering ku mencelos berkata "Jangan pegang-pegang! Entar kalau aku jadi jerawatan gimana? Tangan kamu kan banyak kumannya," dan seperti biasa pula Ia hanya tertawa mendengarnya.
Huh, kekasihku. Ia memang selalu seperti itu. Meledek.
"Sayang, lemes banget ya?" katanya dengan setengah berdiri dan memanjakan dihadapanku dan teman-temannya.
"Iya nih aduh, kakiku ngilu disini, enggak tau kenapa," kataku bingung sambil menunjuk ke betis di kaki kiriku. 
Tanpa diminnta, Ia langsung duduk dan meletakan kakiku di atas pahanya. Kemudian Ia mulai memijat kakiku mulai dari lutut hingga betis. Aku hanya mengerang. Karena, jujur sekali. Kakiku benar-benar ngilu yang teramat sangat. Ia tertawa melihatku mengerang sambil menahan tawa. Aku menahan tawa karena juga geli. Ya, jujur saja, aku memang tipe orang yang mudah geli.

***

Sebelum bermain, seperti biasa, Ia meminta semangat padaku melalu sebuah high five dan Ia juga merangkul serta meremas sedikit pundak kurusku. Saat Ia mulai bermain dengan benda bulatnya, aku hanya memerhatikan sesekali dan membaca novel yang kubaca. Baru bermain beberpa menit, Ia menyudahinya karena suatu alasan. Aku mendengarkan curahan hatinya dengan seksama dengan Ia di samping kiriku. Kami dekat. Sangat\dekat.Pundak kami menyatu, dan aku mulai merebahkan kepala lelahku di pundaknya yang kokoh. Karena sadar itu tempat umum, aku menarik kembali kepalaku dan tetap mendengarkan curahan hatinya. Tak lama, kami pulang. Dengan masih sangat lelah aku berjalan sampai ketempat dimana motor kekasihku di parkirkan. Aku sangat lemas, hingga akhirnya Ia menyadari dan kembali menggandeng lembut tanganku. Aku sangat menyukai hal itu. Walau tak sering Ia menggandengnya, tapi aku sangat bahagia. Hanya 2-3x Ia menggandengku tapi menjadi sesuatu yang membuatku tersenyum sepanjang jalan. Aku merasa terlindungi dan dikasihi diperlakukan seperti itu. Walau sering aku merasakannya, tapi kali ini semakin paham arti dari sosok hadirnya yang hanya mencintaiku. Dan hanya untukku. Semoga.