Tampilkan postingan dengan label Cool. Tampilkan semua postingan

College Life Part 4



ANA POV’s

Duduk di row 3 sebenarnya bukanlah keinginanku. Hanya itulah tempat tersisa yang seakan-akan dipersiapkan untukku. Salahku juga sih karena tadi ke toilet dulu. Saat aku sedang menyiapkan berbagai file keperluan mata kuliah hari ini, aku tiba-tiba menoleh lantaran Remy yang tergesa-gesa menutup pintu kelas dengan kasar.

Hanya sepintas, namun bisa kulihat matanya tertuju padaku. Bukan geer, tapi jujur saja, aku mulai yakin kalau dia suka padaku. Bisa dicek sendiri bagaimana dia intensnya mendekati diriku lewat chat yang kami lakukan. Pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan memang tidak terlalu kentara tapi keliatan lah kalau dia memang sedang mendekatiku.

Atau aku hanya baper?

Atau jangan-jangan, aku yang mulai menyukainya? Apparently no…

Remy duduk dibelakang serong sebelah kananku. Ia duduk dengan temannya, Fahri. Aku tidak dekat dengannya dan tidak ingin dekat.

Dosen pun memasuki kelas dan memulai materi hari ini. Dengan suasanya kelas yang panas, aku pun menguncir rambutku. Entah darimana sayup-sayup aku dengar ada suara yang berkata,

“Itu Ana?”

“Iya, kenapa? Lo suka?”

“Ah, enggaaaaak!”

Jleb. Aku kenal itu suara Remy. Kenapa dia begitu ya? Jujurkah? Atau memang malu?
Dalam hati, aku merutuk si penanya yang aku tidak bisa menebak siapa orangnya. Kini, aku merasa Remy benar-benar tidak menyukaiku dari suara tegasnya. Padahal baru saja aku berbangga-bangga kalau dia menyukaiku.

Rasa perih pun menerjap seluruh tubuhku. Dan aku kehilangan konsentrasi materi hari ini.

FAHRI POV’s

Rasanya lega banget saat gue denger kalau Remy dengan tegas gak suka dengan Ana. Entah itu jujur atau bukan, gue sejujurnya gak peduli. Toh, gue udah menghapus kontak Ana dari handphone Remy. Gue bener-bener berharap mereka gak bisa deket lagi. Dan semoga aja rencana gue berhasil.
Sepertinya hari ini adalah hari keberuntungan gue. Karena, gue pun berhasil satu kelompok dengan Ana! Yes! Gue seneng bukan main! Gue harus kembali menyusun rencana bagaimana caranya agar Ana beralih ke gue.

REMY POV’s

Saat pembagian kelompok, gue bener-bener berharap bisa satu kelompok dengan Ana. Tapi sayang, Fahri lagi hoki bisa satu kelompok dengan cewek independen dan cerdas seperti Ana. Gak apa-apa sih, gue juga independen dan cerdas kok –kalau ngebohong.

Hari-hari di kampus pun gue jalani seperti biasa. Tapi, ada sesuatu yang ngeganjel saat gue liat senyum Ana hari itu. Gue akui, senyumnya memudar. Paitnya, pudar senyumnya hanya kalau sama gue. Entah kenapa, hari itu juga gue ngerasa Ana ngejauhin gue. Setiap pertanyaan yang gue ajuin, dia hanya mengangguk ataupun menggeleng.

Buset dah mulutnya kaga dipake apa! Perlu gue ajarin pake mulut gue juga?

Eits, jangan mesum, Remy. Wanita itu bagaikan bahan antik yang harus dijaga. Sekali ternoda, nodanya akan membekas sangat dalam dan susah hilangnya. Ya, begitulah kira-kira wanita menurut gue.

Setibanya dirumah, gue pun akhirnya mencari kontak Ana untuk menghubunginya.

Tapi, kok gak ada?

ANA POV’s

Rasa sakit ini masih terus berasa. Ditambah, Remy sama sekali gak menghubungiku sepulang kampus. Untuk keagresifannya sih, masih. Dia masih suka nanya-nanya yang gak penting. Tapi, aku mau mencoba ‘jual mahal’ (lagian masih sakit hati juga sih) dengan menjawab pertanyaannya sekenanya.

Jujur, sakit banget rasanya begitu tau kalau dia berkata enggak saat ada yang bertanya apakah dia menyukaiku? Aku gak berharap dia cinta karena cinta akan datang setelah 4bulan rasa suka muncul. Dan sayang akan datang setelah 4tahun mencinta –guruku pernah berkata begitu.

Tunggu, kenapa aku merasa sakit? Kenapa aku membicarakan cinta? Apakah aku mulai menyukainya?


Enggak, gak boleh. Harus dia duluan yang suka padaku!

Aku melihat jam dan tidak berasa aku sudah 5 jam menyetel lagu-lagu di playlistku dengan harapan Remy akan menghubungiku. Saat aku hendak melepas headset dan beranjak tidur –ngomong-ngomong saat itu sudah jam 2 dini hari, bayangkan besok aku ada kelas pagi! Tiba-tiba, ada nomer asing yang menghubungiku.

“Ana..”

To be continue

SIMILAR POSTS

Takperlu Kuungkapkan

"Itu? Namanya siapa?" bisik pria berwajah lancip.
Pria berkacamata pun hanya mengangguk dan berkata "Namanya Andini Ratnasari" pria berkacamatpun tersenyum lebar ketika menyebutkan nama wanita yang mereka perhatikan sedaritadi. Wanita dengan rambut cokelat lurus tanpa poni yang membiarkan kening indahnya terpapar sinar matahari pagi.
"Anak mana?" ucap lagi pria berwajah lancip.
"Anak orangtuanya lah," pria berkacamata memulai guyonannya. Pria berwajah lancip pun memukul dengan cukup keras sampai pria berkacamata mengaduh.
"Serius dong, bro" mohon pria berwajah lancip.
Pria berkacamat tersenyum dan berkata "Anak Sience semester 3,"
"Sejak kapan lo suka?"
"Sejak pertamakali liat dia ospek,"
"Rumahnya dimana?"
"Di daerah Kalibata timur,"
"Tau persis alamat dan bentuk rumahnya?" tanya pria berwajah lancip.
"Tau. Tapi gak hafal alamat bakunya. Kalau jalannya ya tau. Rumahnya sederhana, ibunya cantik persis Dini,"
"Nama panggilannya Dini?"
"Yap,"
"Hobbynya apa?"
"Baca novel. Dia juga suka banget nyanyi. Keliatan dari koleksi rekaman suaranya di soundcloud. Gue juga punya beberapa rekamannya. Soalnya ada yang beberapa yang diprivasi dan gakbisa di download."
"Wow. Soundcloudnya juga lo tau! Trus apalagi yang lo tau?"
"Twitter. Facebook. Path. Line sampe nomer handphone nya juga gue tau."
"Trus bro?" tanya pria berwajah lancip tak sabaran.
"Dia suka bawa motor. Motornya Honda Scoopy warna pink. Dia suka banget warna pink. Makanya gue suka nyelipin hadiah berwarna pink di lokernya."
"Trus trus?" pria berwajah lancip kembali tak sabaran.
"Gue bener-bener suka sama kepribadiannya, bro. Jatuh cinta banget gue."
"Dan... dia tau?"
"Sepertinya enggak. Gue sengaja gakmau nunjukin," ucap pria berkacamata murung.
"Loh? Kenapa?" tanya pria berwajah lancip heran. Ia tau betul bahwa sahabatnya bukan tipe pria seperti itu.
"Dia udah punya pacar,"
Pria berwajah lancip sedikit kaget. Dan kembali bertanya "Siapa pacarnya? Udah berapa lama hubungannya?"
"Anak Politeknik Negeri jurusan otomotif. Namanya Raden Maulana. Liat aja, hari ini Dini gakbawa motor ntar juga dijemput,"
"Trus? Udah berapa lama hubungannya?" tanya pria berwajah lancip tak sabaran.
"Lima tahun setengah,"
Pria berwajah lancip membuka mulutnya kaget. Sekarang Ia mengerti mengapa sahabatnya tak berani menunjukan rasa cintanya.
"Oke kalau begitu. Lo gakboleh ngeliat pemandangan menyakitkan. Lima tahun setengah, gila. Pasti ntar di motor Dini bakal meluk Raden-Raden itu. Ayo pergi secepat mungkin,"
Pria berkacamata tersenyum dan berkata "Gue udah biasa liatnya. Gue malah bahagia ngeliat dia ketawa-ketawa sama Raden Maulana itu. Gue gak berani ganggu hubungan mereka karna gue tau banget Raden Maulana pria yang baik buat Dini. Mungkin jauh lebih baik dari gue,"
"Gila emang lo bro. Anak psikolog yang gila. Kalo gue jadi lo, gue pasti udah hajar abis-abisan. Gue pasti panas banget." ucap pria berwajah lencip tak sabaran.
"Hahaha, emang gue kayak lo apa. Kuliah Fakultas Psikologi. Tapi sifat kayak Psikopat. Hahaha" pria berkacamata tertawa renyah.

Mereka masih memperhatikan Dini. Dini yang daritadi hanya mengaduk-aduk minuman yang dipesannya. Kini mulai membuka sebuah buku.
"Lihat deh, bro." pinta pria berkacamata.
"Kenapa?" tanya pria berwajah lancip bingung.
"Dia makin cantik ya kalo lagi baca buku. Itu buku dari gue."
"Buku apaantuh?" tanya pria berwajah lancip yang kembali bingung.
"Buku novel tentang seorang pria yang jatuh cinta diam-diam pada seorang wanita yang sudah bahagia bersama kekasihnya,"
"Edodo e... Lo banget, bro!" ucap pria berwajah lancip sembari menepuk pundak sahabatnya.
"Eh liat! Raden dateng!" pria berkacamata menunjuk seorang pria yang menaiki Ninja Kawasaki berwarna hijau yang sedang melepas helm full face miliknya.
"Ah. Gak ganteng bro. Biasa aja. Gantengan lo. Tapi lo sama gue gantengan gue ya..." guyon pria berwajah lancip.
"Sial!" kini pria berkacamata yang menepuk pundak sahabatnya.
Sepasang sahabat seperjuangan masih terus memperhatikan seorang pria bermata sipit dengan hidung yang tidak terlalu mancung dan kulit yang eksotis mengecup lembut kening Dini.
Dini dan pria itu berbicara dengan senyum kebahagiaan diwajahnya masing-masing.
"Yuk pergi," pinta pria berwajah lencip.
"Tunggu Dini bangun dan gandengan sama Raden," masih ada senyum di sudut wajah pria berkacamata.
"Nah tuh udah. Ayo pergi,"
Mereka pergi dengan langkah kaki bersamaan. Tak lama, pria berwajah lancip merangkul pria berkacamata.
Dini dan Raden berjalan bersandingan sebagai sepasang kekasih yang sangat bahagia dan serasi.
Raden mulai menaiki motornya. Detik pertama, Ia mencantolkan kunci dan memutar kunci tersebut sebagaimana mestinya. Lalu menekan kopling dan memasukan gigi.
"Sayang? Ayo.." pinta pria bersuara lembut yang telah diketahu bernama Raden.
Dini baru saja tak sengaja membuka setiap halaman buku yang sedaritadi Ia bawa. Disitu ada sebuah foto seorang pria berkacamata, berkulit eksotis dengan hidung mancung dan bibir tipis sedang menggunakan mantel hangat cokelat dengan background pemandangan beserta air terjun. Ketika ditegaskan. Dini merasa itu adalah pria yang sedaritadi memperhatikannya. Kemudian Dini membalik foto tesebut dan ditemukanlah sebuah nama lengkap beserta nomer telefon. Randy Assegaf: 082121345689

SIMILAR POSTS

Tampilkan postingan dengan label Cool. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cool. Tampilkan semua postingan

Rabu, 07 Oktober 2015

College Life Part 4



ANA POV’s

Duduk di row 3 sebenarnya bukanlah keinginanku. Hanya itulah tempat tersisa yang seakan-akan dipersiapkan untukku. Salahku juga sih karena tadi ke toilet dulu. Saat aku sedang menyiapkan berbagai file keperluan mata kuliah hari ini, aku tiba-tiba menoleh lantaran Remy yang tergesa-gesa menutup pintu kelas dengan kasar.

Hanya sepintas, namun bisa kulihat matanya tertuju padaku. Bukan geer, tapi jujur saja, aku mulai yakin kalau dia suka padaku. Bisa dicek sendiri bagaimana dia intensnya mendekati diriku lewat chat yang kami lakukan. Pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan memang tidak terlalu kentara tapi keliatan lah kalau dia memang sedang mendekatiku.

Atau aku hanya baper?

Atau jangan-jangan, aku yang mulai menyukainya? Apparently no…

Remy duduk dibelakang serong sebelah kananku. Ia duduk dengan temannya, Fahri. Aku tidak dekat dengannya dan tidak ingin dekat.

Dosen pun memasuki kelas dan memulai materi hari ini. Dengan suasanya kelas yang panas, aku pun menguncir rambutku. Entah darimana sayup-sayup aku dengar ada suara yang berkata,

“Itu Ana?”

“Iya, kenapa? Lo suka?”

“Ah, enggaaaaak!”

Jleb. Aku kenal itu suara Remy. Kenapa dia begitu ya? Jujurkah? Atau memang malu?
Dalam hati, aku merutuk si penanya yang aku tidak bisa menebak siapa orangnya. Kini, aku merasa Remy benar-benar tidak menyukaiku dari suara tegasnya. Padahal baru saja aku berbangga-bangga kalau dia menyukaiku.

Rasa perih pun menerjap seluruh tubuhku. Dan aku kehilangan konsentrasi materi hari ini.

FAHRI POV’s

Rasanya lega banget saat gue denger kalau Remy dengan tegas gak suka dengan Ana. Entah itu jujur atau bukan, gue sejujurnya gak peduli. Toh, gue udah menghapus kontak Ana dari handphone Remy. Gue bener-bener berharap mereka gak bisa deket lagi. Dan semoga aja rencana gue berhasil.
Sepertinya hari ini adalah hari keberuntungan gue. Karena, gue pun berhasil satu kelompok dengan Ana! Yes! Gue seneng bukan main! Gue harus kembali menyusun rencana bagaimana caranya agar Ana beralih ke gue.

REMY POV’s

Saat pembagian kelompok, gue bener-bener berharap bisa satu kelompok dengan Ana. Tapi sayang, Fahri lagi hoki bisa satu kelompok dengan cewek independen dan cerdas seperti Ana. Gak apa-apa sih, gue juga independen dan cerdas kok –kalau ngebohong.

Hari-hari di kampus pun gue jalani seperti biasa. Tapi, ada sesuatu yang ngeganjel saat gue liat senyum Ana hari itu. Gue akui, senyumnya memudar. Paitnya, pudar senyumnya hanya kalau sama gue. Entah kenapa, hari itu juga gue ngerasa Ana ngejauhin gue. Setiap pertanyaan yang gue ajuin, dia hanya mengangguk ataupun menggeleng.

Buset dah mulutnya kaga dipake apa! Perlu gue ajarin pake mulut gue juga?

Eits, jangan mesum, Remy. Wanita itu bagaikan bahan antik yang harus dijaga. Sekali ternoda, nodanya akan membekas sangat dalam dan susah hilangnya. Ya, begitulah kira-kira wanita menurut gue.

Setibanya dirumah, gue pun akhirnya mencari kontak Ana untuk menghubunginya.

Tapi, kok gak ada?

ANA POV’s

Rasa sakit ini masih terus berasa. Ditambah, Remy sama sekali gak menghubungiku sepulang kampus. Untuk keagresifannya sih, masih. Dia masih suka nanya-nanya yang gak penting. Tapi, aku mau mencoba ‘jual mahal’ (lagian masih sakit hati juga sih) dengan menjawab pertanyaannya sekenanya.

Jujur, sakit banget rasanya begitu tau kalau dia berkata enggak saat ada yang bertanya apakah dia menyukaiku? Aku gak berharap dia cinta karena cinta akan datang setelah 4bulan rasa suka muncul. Dan sayang akan datang setelah 4tahun mencinta –guruku pernah berkata begitu.

Tunggu, kenapa aku merasa sakit? Kenapa aku membicarakan cinta? Apakah aku mulai menyukainya?


Enggak, gak boleh. Harus dia duluan yang suka padaku!

Aku melihat jam dan tidak berasa aku sudah 5 jam menyetel lagu-lagu di playlistku dengan harapan Remy akan menghubungiku. Saat aku hendak melepas headset dan beranjak tidur –ngomong-ngomong saat itu sudah jam 2 dini hari, bayangkan besok aku ada kelas pagi! Tiba-tiba, ada nomer asing yang menghubungiku.

“Ana..”

To be continue

Jumat, 03 Mei 2013

Takperlu Kuungkapkan

"Itu? Namanya siapa?" bisik pria berwajah lancip.
Pria berkacamata pun hanya mengangguk dan berkata "Namanya Andini Ratnasari" pria berkacamatpun tersenyum lebar ketika menyebutkan nama wanita yang mereka perhatikan sedaritadi. Wanita dengan rambut cokelat lurus tanpa poni yang membiarkan kening indahnya terpapar sinar matahari pagi.
"Anak mana?" ucap lagi pria berwajah lancip.
"Anak orangtuanya lah," pria berkacamata memulai guyonannya. Pria berwajah lancip pun memukul dengan cukup keras sampai pria berkacamata mengaduh.
"Serius dong, bro" mohon pria berwajah lancip.
Pria berkacamat tersenyum dan berkata "Anak Sience semester 3,"
"Sejak kapan lo suka?"
"Sejak pertamakali liat dia ospek,"
"Rumahnya dimana?"
"Di daerah Kalibata timur,"
"Tau persis alamat dan bentuk rumahnya?" tanya pria berwajah lancip.
"Tau. Tapi gak hafal alamat bakunya. Kalau jalannya ya tau. Rumahnya sederhana, ibunya cantik persis Dini,"
"Nama panggilannya Dini?"
"Yap,"
"Hobbynya apa?"
"Baca novel. Dia juga suka banget nyanyi. Keliatan dari koleksi rekaman suaranya di soundcloud. Gue juga punya beberapa rekamannya. Soalnya ada yang beberapa yang diprivasi dan gakbisa di download."
"Wow. Soundcloudnya juga lo tau! Trus apalagi yang lo tau?"
"Twitter. Facebook. Path. Line sampe nomer handphone nya juga gue tau."
"Trus bro?" tanya pria berwajah lancip tak sabaran.
"Dia suka bawa motor. Motornya Honda Scoopy warna pink. Dia suka banget warna pink. Makanya gue suka nyelipin hadiah berwarna pink di lokernya."
"Trus trus?" pria berwajah lancip kembali tak sabaran.
"Gue bener-bener suka sama kepribadiannya, bro. Jatuh cinta banget gue."
"Dan... dia tau?"
"Sepertinya enggak. Gue sengaja gakmau nunjukin," ucap pria berkacamata murung.
"Loh? Kenapa?" tanya pria berwajah lancip heran. Ia tau betul bahwa sahabatnya bukan tipe pria seperti itu.
"Dia udah punya pacar,"
Pria berwajah lancip sedikit kaget. Dan kembali bertanya "Siapa pacarnya? Udah berapa lama hubungannya?"
"Anak Politeknik Negeri jurusan otomotif. Namanya Raden Maulana. Liat aja, hari ini Dini gakbawa motor ntar juga dijemput,"
"Trus? Udah berapa lama hubungannya?" tanya pria berwajah lancip tak sabaran.
"Lima tahun setengah,"
Pria berwajah lancip membuka mulutnya kaget. Sekarang Ia mengerti mengapa sahabatnya tak berani menunjukan rasa cintanya.
"Oke kalau begitu. Lo gakboleh ngeliat pemandangan menyakitkan. Lima tahun setengah, gila. Pasti ntar di motor Dini bakal meluk Raden-Raden itu. Ayo pergi secepat mungkin,"
Pria berkacamata tersenyum dan berkata "Gue udah biasa liatnya. Gue malah bahagia ngeliat dia ketawa-ketawa sama Raden Maulana itu. Gue gak berani ganggu hubungan mereka karna gue tau banget Raden Maulana pria yang baik buat Dini. Mungkin jauh lebih baik dari gue,"
"Gila emang lo bro. Anak psikolog yang gila. Kalo gue jadi lo, gue pasti udah hajar abis-abisan. Gue pasti panas banget." ucap pria berwajah lencip tak sabaran.
"Hahaha, emang gue kayak lo apa. Kuliah Fakultas Psikologi. Tapi sifat kayak Psikopat. Hahaha" pria berkacamata tertawa renyah.

Mereka masih memperhatikan Dini. Dini yang daritadi hanya mengaduk-aduk minuman yang dipesannya. Kini mulai membuka sebuah buku.
"Lihat deh, bro." pinta pria berkacamata.
"Kenapa?" tanya pria berwajah lancip bingung.
"Dia makin cantik ya kalo lagi baca buku. Itu buku dari gue."
"Buku apaantuh?" tanya pria berwajah lancip yang kembali bingung.
"Buku novel tentang seorang pria yang jatuh cinta diam-diam pada seorang wanita yang sudah bahagia bersama kekasihnya,"
"Edodo e... Lo banget, bro!" ucap pria berwajah lancip sembari menepuk pundak sahabatnya.
"Eh liat! Raden dateng!" pria berkacamata menunjuk seorang pria yang menaiki Ninja Kawasaki berwarna hijau yang sedang melepas helm full face miliknya.
"Ah. Gak ganteng bro. Biasa aja. Gantengan lo. Tapi lo sama gue gantengan gue ya..." guyon pria berwajah lancip.
"Sial!" kini pria berkacamata yang menepuk pundak sahabatnya.
Sepasang sahabat seperjuangan masih terus memperhatikan seorang pria bermata sipit dengan hidung yang tidak terlalu mancung dan kulit yang eksotis mengecup lembut kening Dini.
Dini dan pria itu berbicara dengan senyum kebahagiaan diwajahnya masing-masing.
"Yuk pergi," pinta pria berwajah lencip.
"Tunggu Dini bangun dan gandengan sama Raden," masih ada senyum di sudut wajah pria berkacamata.
"Nah tuh udah. Ayo pergi,"
Mereka pergi dengan langkah kaki bersamaan. Tak lama, pria berwajah lancip merangkul pria berkacamata.
Dini dan Raden berjalan bersandingan sebagai sepasang kekasih yang sangat bahagia dan serasi.
Raden mulai menaiki motornya. Detik pertama, Ia mencantolkan kunci dan memutar kunci tersebut sebagaimana mestinya. Lalu menekan kopling dan memasukan gigi.
"Sayang? Ayo.." pinta pria bersuara lembut yang telah diketahu bernama Raden.
Dini baru saja tak sengaja membuka setiap halaman buku yang sedaritadi Ia bawa. Disitu ada sebuah foto seorang pria berkacamata, berkulit eksotis dengan hidung mancung dan bibir tipis sedang menggunakan mantel hangat cokelat dengan background pemandangan beserta air terjun. Ketika ditegaskan. Dini merasa itu adalah pria yang sedaritadi memperhatikannya. Kemudian Dini membalik foto tesebut dan ditemukanlah sebuah nama lengkap beserta nomer telefon. Randy Assegaf: 082121345689