Tampilkan postingan dengan label Romance. Tampilkan semua postingan

College Life Part 3


Fahri POV’s


Entah kenapa sejak awal pendaftaran, gue udah liat cewek itu. Sempat intip-intip namanya, dan namanya Ana, ya. Dan gue gak nyangka, akan sekelas dengannya. Jodoh kah?

Ana Wafirna, anak pertama dari dua bersaudara. Saat pertama kali lihat dia, dia seperti tidak suka dengan perkuliahan disini, namun lama-lama sifat aslinya mulai muncul dan ternyata dirinya sangat ceria, ya, gak se-kaku yang gue bayangin.

Gue Fahri, seharusnya gue udah kuliah semester 3 sekarang. Namun karena gue gak suka sama jurusan  yang dulu gue ambil, gue memilih untuk mengulang di jurusan yang baru dan begitu mengetahui ada cewek sesempurna Ana, gue sadar seharusnya gue bisa sama cerdasnya dengan dirinya biar dia tau dan notice gue kalau gue ‘tuh sebanding dengan dirinya.
Gue mungkin gak se-keren Remy dan gak bisa se-agresif dia, tapi faktanya, gue mau bisa deket dengan Ana. Tapi, gimana caranya? Jujur aja, sih, gue cemburu abis kalau liat Remy dekat dengan Ana. Apa yang harus gue lakuin agar mereka tidak dekat lagi, ya?
“Hoy, ngelamun aja lo!”
Gue yang sedang memainkan pulpen tiba-tiba dikagetkan dengan kehadiran Remy yang sedang menggenggam ponselnya. Saat melihat ponsel Remy, tiba-tiba gue kepikiran sesuatu.
“Eh, men, hp gue gak pulsa nih, boleh pinjem SMS gak?”
Ana POV’s

Remy jalan bersandingan denganku, entah mengapa, ada aroma manis nan menenangkan ditubuhnya yang membuatku ingin terus bersamanya. Dengan balutan celana jeans, kemeja berwarna hitam dan jaket berwarna abu-abu yang ia kenakan, membuat Remy sangat enak dipandang. Apalagi mata bulatnya sangat indah –tunggu, apa yang aku bilang? Indah? Enak dipandang? Ingin bersamanya? Duh, ngawur!

Tanpa terasa aku pun memperlambat langkahku. Aku ingin lebih lama berjalan bersandingan dengannya meski tidak ada satu katapun yang terucap dari bibir kami berdua. Seketika, aku ingin melihat penampilanku hari ini. Tanpa berkata padanya, aku langsung berbelok kearah toilet.
Toilet di siang hari rupanya tak seramai yang aku pikirkan. Dengan percaya diri aku melihat diriku di cermin besar yang memperlihatkan setiap lekuk tubuhku. Cukup dengan kemerja berwarna putih, jeans hitam dan balutan kalung aku merasa cukup percaya diri. Lalu, aku menambah polesan lipstick dibibirku.

Hey wait, kenapa aku segenit ini??

Remy POV’s


Tadinya gue jalan bareng Ana menuju kelas. Aroma tubuhnya semerbak banget, coy. Bikin gue betah nempel sama dia. Gaya simpelnya juga minta banget digandeng tapi gue harus tahan diri nanti dia malah ilfeel sama gue. Duh, jangan sampe deh!

Saat gue memasuki kelas, gue ngeliat sohib baru gue si Fahri ngelamun mainin pulpen kayak orang naber, tapi sayangnya saat gue kagetin dia, dia gak naber sih.
“Eh, men, hp gue gak pulsa nih, boleh pinjem SMS gak?”
Tentu saja sebagai sohib yang baik dan tidak sombong serta rajin menabung pulsa –gue jomlo men gak ada yang SMS gue, gue pinjemin deh.
“Okay, nih pake aja sesuka hati lo,”
Tiba-tiba gue inget belum pinjem buku ke perpus padahal kelas 15 menit lagi mulai, gue harus buru-buru nih.
“Btw, Ri, gue tinggal bentar ya belom pinjem buku ke perpus nih mati lah gue gak boleh masuk kelas entar!”
“Oh, iya iya Rem! Cepet ye!” kata Fahri mengingatkan.
“Sip! Nanti kalo udah kelar balikin aja ke tas gue!”
Fahri pun mengangguk patuh layaknya hewan peliharaan gue.

Normal POV’s


Ana pun keluar dari toilet dan mendapati Remy tengah berlari melewati dirinya. Aroma tubuh Remy pun tercium nan menenangkan untuknya.
Kenapa cowok bisa se-wangi itu sih? Bikin melting! Ucap Ana dalam hati.
Ana pun melihat jam yang menggantung indah ditangan kecilnya, ia melihat kalau kelas akan mulai 15 menit lagi, ia langsung bergegas menuju kelas. Ana pun duduk di row ke 3 lantaran di tempat itu masih ada satu kursi kosong yang tersisa. Sejujurnya ia ingin merasakan duduk di row ke 4 namun ia menghindari tempat paling belakang di kelas karena disanalah Remy duduk. Ana takut tidak fokus nantinya.

Fahri pun celingukan melihat sekeliling ketika ia menghirup aroma tubuh Ana yang semerbak wanginya dan ia pun mendapati Ana sudah duduk manis di serong sebelah kanannya. Wajah putihnya memerah lantaran sengatan matahari siang. Fahri pun mengecek aplikasi BBM yang ada di ponsel Remy.

Sejujurnya, dirinya meminjam ponsel Remy bukan untuk mengirim SMS tapi ia penasaran sedekat apa Remy dengan Ana. Saat di cek, ternyata begitu panjang dan banyak isi chatting mereka yang dilakukan rutin setiap hari.

Dengan suasana kelas yang panas dan hatinya yang mendadak panas, tanpa pikir panjang Fahri pun mengakhiri obrolan yang dilakukan Remy dan Ana di BBM. Ia pun langsung membuka kontak Ana disana, dan mengklik tulisan delete contact.

To be continue….

SIMILAR POSTS

College Life Part 2



REMY POV’s

Punya dosen yang suka ngebanyol seru juga ya ternyata. Tanpa sadar pun syaraf ketawa gue terus-terusan terangsang. Tapi ngomong-ngomong, gue udah dua jam di kelas ini tapi masih belum tau nama cewek masam yang sedaritadi gue liat dia udah mulai ikutan ketawa.
Oke, gue gak begitu peduli sih sama dia.
Dan tanpa terasa kelaspun berakhir dan gue harus kembali ke habitat gue.
“Wes, Remy! Si maba baru pulang ngampus nih?” suara ngebass itu? Itu temen gue namanya Riqi. Dia dua tahun diatas gue.
Tiba-tiba kepala gue diteplak seseorang yang tak lain dan tidak bukan adalah Adi. Dia memang punya hobi teplak pala orang.
“Iya, baru balik gue. Asem nih, bagi dong!”
Temen-temen gue yang udah biasa dikodein cewek pun langsung peka sama kode yang gue berikan. Namun, tiba-tiba, dalam dua kali isapan, gue mendadak kepikiran dan penasaran, apakah si cewek masam yang masih belum gue ketahui namanya itu suka cowok perokok? Karena sepertinya, dia cewek alim nan baik-baik yang peduli dengan kesehatan.
Dan bodohnya, buat apa gue mikirin hal itu?

ANA POV’s

Aku benar-benar benci dengan orang yang merokok di kendaraan umum! Dalam perjalanan pulang dari kampus, aku pasti akan terus menaiki angkutan umum lantaran orang tuaku tidak mengizinkanku mengendarai kendaraan pribadi. Karena aku cewek, katanya, dan mereka takut akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kalau aku mengendarai kendaraan pribadi.
Berhubung orang itu lebih tua dariku, aku jadi tidak bisa menegurnya lantaran ‘ngeri’ dianggap tidak sopan. Jadilah aku hanya berpura-pura batuk didekatnya.
Tanpa terasa, akhirnya aku sampai di rumah. Aku berjalan sedikit dan memasuki pelataran rumahku. Tampak depan rumahku sih seperti rumah normal kebanyakan, namun terkadang aku takut kalau harus memasuki rumah bercat orange itu.
Oke, ini masih siang dan bokap pasti belum pulang.
Aku mengucapkan salam lalu memasuki kamarku. Aku merasa, kehidupan perkuliahan yang akan kujalani masih belum terlihat titik terang keseruannya. Tapi gak masalah sih karena tujuanku kuliah untuk menuntut ilmu bukan untuk menuntut keseruan.
Semakin larut aku berpikir, semakin aku terasa mengantuk…

Normal POV’s

Remy memarkirkan motronya di pelataran parkiran kampus yang akan menjadi saksi bisu kisah mereka berdua dan Ana pun baru saja turun dari angkutan umum yang ia naiki. Meski berada di jarak dan tempat berbeda, mereka berada di tujuan yang sama yaitu kelas.

Berhubung absen sudah dimulai, nama-nama pun sudah tercantum dan kini Remy mengetahui nama cewek yang ia anggap berwajah masam yaitu Ana.

Meski pendiam, sesungguhnya Ana adalah pengamat dan peneliti yang jeli. Meski sedikit berbicara, ia mengetahui banyak hal yang pastinya akan membuat teman-teman sekelasnya terkagum-kagum olehnya.

Dan semua terjawab saat satu minggu pertama mulai aktif perkuliahan. Remy pun menyadari bagaimana cerdasnya Ana berbicara, mengemukakan pendapatnya dan dari setiap pertanyaan yang terlontar dari bibir kecilnya terkadang sulit di cerna oleh teman-temannya.

Hingga akhirnya Remy memberanikan diri untuk menyapa Ana,


“Eh, nama lo siapa sih?” Tanya Remy spontan.
“Ana, kenapa?”
“Oh, gak apa-apa, takut salah aja,”


Dan kecanggungan pun menyelimuti mereka berdua. Ana yang sudah mengetahui nama Remy pun hanya melihatnya sekilas dan kembali berpaling. Sempat ada perasaan aneh di dada Ana, namun ia tak memperdulikannya.

Hari-hari pun berlalu dan mereka hanya bisa saling menatap dalam diam. Ana yang sadar akan kecanggungan ini pun semakin penasaran ada apa dengan Remy. Sampai akhirnya ia tertarik dan ingin mengetahui Remy lebih dalam.

Dan Ana pun memutuskan untuk memberanikan diri menyapa Remy saat mereka tengah berjalan bersama menuju luar gedung kampus,

“Rumah lu dimana, Rem?” Tanya Ana hati-hati.

“Cibinong. Kalau lu?” Remy pun kembali menanyakan pertanyaan dengan harapan percakapan ini tidak ada akhirnya.

“Loh, sama! Di sebelah mananya?”

“Gue sebelum CCM, kalau lu?”

“Yah, lumayan berarti yaaa, gue deket Setu Dora.”

“Hmm.. mau bareng? Ya sampai perempatan aja sih.” Ucap Remy hati-hati meski sebenarnya, ia ingin mengantar Ana sampai rumahnya.

“Ah, gak usah. Gue punya temen barengan kok, kapan-kapan aja kali ya kalau lagi buru-buru.” ucap Ana senang karena akhirnya ada juga pria yang mengajaknya pulang bareng, seperti di novel saja, pikirnya.

“Oh, okay.” Remy pun tersenyum.

“Okay, duluan ya!” salam perpisahan dari Ana.

Remy sepertinya enggan untuk memalingkan wajahnya. Ia tampak terkesima dengan percakapan singkat yang mereka lakukan.

“Ayo, Rem!” tiba-tiba Fahri –teman sekelas Remy- muncul dan mengajaknya saat melihat Remy tak berhenti memandang Ana.

Remy kenapa melihat Ana sampai seperti itu? Dia… suka Ana?

To be continue….

SIMILAR POSTS

College Life Part 1



ANA POV’s

Earphone yang mengganjal di telingaku mulai memenuhi syaraf otak dikepalaku. Mungkin, di bagian otak kananku sudah dipenuhi dengan playlist favorit yang sering dikumandangkan. Dengan langkah gontai aku memasuki kelas baru yang entah siapa yang akan menjadi teman, sahabat atau bahkan –ehm, pacarku nantinya. Mungkinkah akan ada pria spesial disana?

Tanpa ragu, aku menduduki kursi paling depan yang berada di kelas ini. Bukan, bukannya aku mau ‘sok pintar tapi memang hanya tersisa kursi itu dan aku malas kalau harus berkeliling kebelakang mencari kursi yang kosong.

Saat aku duduk, ada seorang wanita berambut sebahu di samping kananku dan ada seorang wanita berambut pirang di samping kiriku. Mereka mengobrol disaat aku ada ditengah-tengah mereka. Bukankah itu menjengkelkan?

Lagi, aku hanya bisa diam mendengarkan alunan Locked Away nya Adam Levine ft. R. City. Dan aku pun hanya menunduk melihat sepatuku yang tak kusadari ternyata talinya lepas sedaritadi. Alih-alih mengaitkannya kembali, aku malah mendiamkannya dan cenderung menggoyang-goyangkannya.

Namun, ada hal aneh saat aku mulai tegak memandang di hadapanku. Ada seorang pria disana yang sepertinya baru saja memperhatikanku. Hmm gak mungkin sih ya sepertinya aku hanya berkhayal.
Dan seorang dosen pun memasuki kelasku.

REMY POV’s


Gila kali kalau setiap hari harus naik tangga sampai lantai 5! Ada lift, sih, tapi cuma untuk rektor, wadafak men! Anak tangga demi anak tangga pun harus gue tempuh dari lantai 1 dan disaat-saat seperti inilah saatnya gue berharap punya pintu kemana sajanya Doraemon.

Saat menginjak lantai 4, gue bara aja sadar ada cewek dengan muka masam berjalan mendahului gue. Rambut panjang hitam yang digerainya tetap gak bisa menutupi earphone yang ia kenakan. Entah kenapa, gue mendadak merasakan sesuatu yang menarik akan terjadi dan tanpa sadar, gue menyunggingkan senyum termanis yang pernah gue miliki.

Gue pun melanjutkan perjalanan, lalu tiba lah gue dilantai 5, saat memasuki kelas, di bangku paling depan –gue antara terkejut dan enggak terkejut, sih, lantaran entah kenapa gue udah yakin aja cewek yang tadi gue temuin di lantai 4 bakal menjadi teman sekelas gue. Ya jelas aja sih, di topi OSPEK nya ada angka 5! Hahahaha.

Untung aja saat gue perhatiin, dia sedang sibuk ngedumel (maksud gue nyanyi-nyanyi gak jelas lantaran earphone ditelinganya terlihat masih mengeluarkan suara) sambil meratapi tali sepatunya yang lepas. Dan tiba-tiba, dia sadar kalau gue sedang memperhatikan dia.
Dan dosen berambut hitam legam pun memasuki kelas.

To be continue…

SIMILAR POSTS

Takperlu Kuungkapkan (2)



                Semalaman Andini tidak bisa tidur memikirkan Randy Assegaf. Foto yang di genggampun tak terlepas dari tidurnya.
***
                “Nay! Naya! Disini!”  teriak Dini memanggil seorang wanita dengan tinggi semampai di kuncir kuda. Anak rambutnya dibiarkan menari di pelipisnya. Semakin menegaskan rahang di wajah ovalnya. Wanita itupun berjalan tergesa-gesa menuju arah suara.
                “Ada apa, Din? Se-urgent apa sih beritanya? Sampe mimpi indah gue terganggu ngedenger i-messages dari lo,” cerocos Naya sambil mecondongkan wajahnya.
                “Hehe, sorry beib.. lo mau pesen apa? Sini gue pesenin,”
                “Bayarin sekalian yaa. Gue lagi pengen gado-gado Bu Marni, nih.”
                “Sip,”
                Andini berjalan anggun menyusuri kerumunan. Padahal masih jam sembilan pagi, tapi Cafetaria FMIPA sudah mulai ramai. Mungkin banyak yang belum sarapan. Maklum, kebanyakan anak disini adalah anak kos.
                Andini pun memesan pesanan Naya. Selang beberapa lama, gado-gado pesanannya pun jadi.
                “Ah, thankyou my bestieee,” ucap Naya dengan nada bangga ketika memanggil wanita cantik didepannya dengan sebutan ‘bestie’
                “My pleasure as well, hun”
                “Oke, sambil gue makan, lo harus mulai cerita. Ada apa sebenarnya? Sampe lo susah tidur dan kemudian punya mata panda kayak begini?” ucap Naya khawatir.
                Andini mulai mengeluarkan selembar foto.
                “Jangan lihat belakang foto ini, sebelum lo kenali betul siapa orangnya! Lo kan humas di kampus kita, lo pasti kenal sedikit-banyak mahasiswa disini kan?” ucap Andini sebelum memberikan foto tersebut.
                “Bawel. Sini coba gue liat!” ucap Naya tak sabaran.
                Naya menerka-nerka foto yang sedang dipegangnya. Antara ragu, dia akhirnya menjawab.
                “Dia bukan anak sini. Anak fakultas lain. Lebih tepatnya, fakultas psikologi” ucap Naya gamblang.
                “Serius? Semester berapa?”
                “Yang jelas, dia senior kita.......... Tunggu. Masa lo gak inget sih dia siapa?” ucap Naya setengah mengunyah gado-gadonya.
                “Enggak. Emang dia siapa?” ucap Andini bingung.
                Naya geleng-geleng “Dia Kak Randy yang nolong elo waktu lo kesasar di hutan. Dia senior cowok yang paling pertama sadar pas lo ilang. Lo gak inget?”
                “Astagfirullah. Enggak, gue gak inget sama sekali. Lo kan tau gimana keadaan gue waktu itu”
                “Iya bener juga. Lo kacau banget. Tanah dimana-mana, lo pun gak bisa melek karena banyak tanah di mata lo. Lo emang abis main tanah? Haha,” ucap Naya meledek
                “Jahat lo, beib. Gue masih trauma nih sama hutan,”
                “Iya iya, sorry.” Ucap Naya sambil minum Es Teh manis milik Andini “Sekarang, gue boleh liat belakangnya?”
                “Ya, silahkan. Toh, lo udah tau siapa orangnya.”
                “Wuidih. Ada nomer ponselnya segala. Hmmm, pertanyaan gue sekarang adalah... darimana lo dapet foto ini?” tanya Naya penuh selidik.
                “Nih, dari halaman paling belakang buku ini.” Andini menyodorkan buku yang tidak terlalu tebal dengan cover bergambar sepasang kekasih yang sedang bergandengan dan dibelakangnya ada seorang pria yang memperhatikan dengan penuh kepedihan.
                “Buku ini??? Buku dari penggemar rahasia lo?! Gilaaaaaa! Beruntung banget lo di taksir sama Kak Randy!” teriak Naya sumringah.
                “Ett bocah. Pelan-pelan!”
                “Ups, sorry. Jadi, lo mau cari tau tentang dia?” tanya Naya penuh selidik.
                “Mungkin,”
                “Trus, lo sama Lana gimana?”
                “Gak gimana-mana. Gue cuma penasaran kok. Gak akan berimbas ke hubungan gue sm dia,” ‘mudah-mudahan’ lanjut Andini dalam hati.
***
                Pagi hari yang cerah ketika tiga orang gadis memperhatikan seorang pria tampan memarkirkan Kawasaki Ninja berwarna hijau miliknya.
                “Sana buruan! Ntar Kak Lana keburu pergi,” kata salah satu gadis.
                “Iya sana! Jangan kayak kemarin-kemarin ya! Bisanya cuma ‘Hai Kak Lana, apa kabar?’ setelah    dia jawab, kamu malah kabur.” Kata gadis lainnya
                “Aku takut. Duh, doain aku ya!” ucap gadis yang sedaritadi di desak oleh teman-temannya.
                Ketiga gadis ini masih lengkap dengan atribut OSPEK mereka. Politeknik Negeri Jakarta memang sedang melangsungkan OSPEK. Gadis berpipi tirus terus berjalan dengan keyakinan seperti biasa. Segenggam cokelat yang ia bawa selalu terlihat sama seperti cokelat yang ia bawa hari kemarin. Namun, siapa sangka bahwa itu adalah cokelat yang baru saja ia beli di supermarket. Dengan tambahan pita hijau di atas bungkus cokelat yang masih sangat terlihat rapi.
                Seketika gadis yang membawa cokelat itu berhenti. Ia ragu. Ia menoleh ke arah teman-temannya. Seakan bertanya, teman-temannya berkata “Ayo terus! Cepet! Ntar keburu pergi!” dengan setengah keberanian yang mulai memudar. Gadis yang membawa cokelat kemudian setengah berlari menghampiri pria tampan dengan leather jacket-nya yang sedang berbincang dengan salah satu temannya di pelataran parkiran.
                “Hai, Kak Lana. Apa kabar?” tanya sang gadis dengan meletakkan cokelatnya di belakang punggungnya.
                “Baik,” yang di sapa pun hanya menoleh sepintas kemudian melanjutkan obrolannya.
                Sang gadis hendak kabur seperti kemarin pagi di tempat yang sama. Namun teman-temannya mencegat dan meraih cokelat yang di genggamnya.
                “Hai, Kak Lana. Ini cokelat dari Amel. Dimakan ya, Kak. Semoga kakak suka,” kata salah satu temannya sambil menunjuk ke arah Amel yang tengah memerah.
                Teman Lana pun tertawa kecil mendengarnya. Kemudian berkata “Gue duluan ya, Lan. Di panggil Tony,” masih sambil tertawa. Kali ini, tawanya menjadi nyaring.
                “Kenapa gak kabur aja lagi kayak kemaren? Gue males ngadepin anak ABG kayak kalian. Lain kali kalo ada apa-apa to the point aja. Gak usah basa-basi dengan nanya kabar. Kayak kerabat lama aja! Emang lo siapanya gue?” ucap Lana pedas.
                Wajah Amel kian memerah. Bibirnya menjadi pucat. Tangannya mendingin. Matanya panas. Amel tidak menyangka akan di sembur sedemikian rupa oleh Kak Lana. Dia memang pria yang dingin dan ketus. Amel tau hal itu. Tapi Amel tak menyangka perbuatannya balakangan ini malah membuatnya jengah.
                Kak Lana pun pergi tanpa menyentuh cokelat dari Amel.
                “Kak! Gak seharusnya kakak bersikap kayak gitu! Mentang-mentang kakak seorang senior. Bisa gitu ya nyemprot kata-kata pedas ke junior?” kata teman Amel yang lainnya.
                Kak Lana pun tetap berjalan tanpa menoleh. Namun dalam hatinya berkata.
                “Tidak. Jangan lagi. Jangan terulang lagi.”

SIMILAR POSTS

Tampilkan postingan dengan label Romance. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Romance. Tampilkan semua postingan

Kamis, 24 September 2015

College Life Part 3


Fahri POV’s


Entah kenapa sejak awal pendaftaran, gue udah liat cewek itu. Sempat intip-intip namanya, dan namanya Ana, ya. Dan gue gak nyangka, akan sekelas dengannya. Jodoh kah?

Ana Wafirna, anak pertama dari dua bersaudara. Saat pertama kali lihat dia, dia seperti tidak suka dengan perkuliahan disini, namun lama-lama sifat aslinya mulai muncul dan ternyata dirinya sangat ceria, ya, gak se-kaku yang gue bayangin.

Gue Fahri, seharusnya gue udah kuliah semester 3 sekarang. Namun karena gue gak suka sama jurusan  yang dulu gue ambil, gue memilih untuk mengulang di jurusan yang baru dan begitu mengetahui ada cewek sesempurna Ana, gue sadar seharusnya gue bisa sama cerdasnya dengan dirinya biar dia tau dan notice gue kalau gue ‘tuh sebanding dengan dirinya.
Gue mungkin gak se-keren Remy dan gak bisa se-agresif dia, tapi faktanya, gue mau bisa deket dengan Ana. Tapi, gimana caranya? Jujur aja, sih, gue cemburu abis kalau liat Remy dekat dengan Ana. Apa yang harus gue lakuin agar mereka tidak dekat lagi, ya?
“Hoy, ngelamun aja lo!”
Gue yang sedang memainkan pulpen tiba-tiba dikagetkan dengan kehadiran Remy yang sedang menggenggam ponselnya. Saat melihat ponsel Remy, tiba-tiba gue kepikiran sesuatu.
“Eh, men, hp gue gak pulsa nih, boleh pinjem SMS gak?”
Ana POV’s

Remy jalan bersandingan denganku, entah mengapa, ada aroma manis nan menenangkan ditubuhnya yang membuatku ingin terus bersamanya. Dengan balutan celana jeans, kemeja berwarna hitam dan jaket berwarna abu-abu yang ia kenakan, membuat Remy sangat enak dipandang. Apalagi mata bulatnya sangat indah –tunggu, apa yang aku bilang? Indah? Enak dipandang? Ingin bersamanya? Duh, ngawur!

Tanpa terasa aku pun memperlambat langkahku. Aku ingin lebih lama berjalan bersandingan dengannya meski tidak ada satu katapun yang terucap dari bibir kami berdua. Seketika, aku ingin melihat penampilanku hari ini. Tanpa berkata padanya, aku langsung berbelok kearah toilet.
Toilet di siang hari rupanya tak seramai yang aku pikirkan. Dengan percaya diri aku melihat diriku di cermin besar yang memperlihatkan setiap lekuk tubuhku. Cukup dengan kemerja berwarna putih, jeans hitam dan balutan kalung aku merasa cukup percaya diri. Lalu, aku menambah polesan lipstick dibibirku.

Hey wait, kenapa aku segenit ini??

Remy POV’s


Tadinya gue jalan bareng Ana menuju kelas. Aroma tubuhnya semerbak banget, coy. Bikin gue betah nempel sama dia. Gaya simpelnya juga minta banget digandeng tapi gue harus tahan diri nanti dia malah ilfeel sama gue. Duh, jangan sampe deh!

Saat gue memasuki kelas, gue ngeliat sohib baru gue si Fahri ngelamun mainin pulpen kayak orang naber, tapi sayangnya saat gue kagetin dia, dia gak naber sih.
“Eh, men, hp gue gak pulsa nih, boleh pinjem SMS gak?”
Tentu saja sebagai sohib yang baik dan tidak sombong serta rajin menabung pulsa –gue jomlo men gak ada yang SMS gue, gue pinjemin deh.
“Okay, nih pake aja sesuka hati lo,”
Tiba-tiba gue inget belum pinjem buku ke perpus padahal kelas 15 menit lagi mulai, gue harus buru-buru nih.
“Btw, Ri, gue tinggal bentar ya belom pinjem buku ke perpus nih mati lah gue gak boleh masuk kelas entar!”
“Oh, iya iya Rem! Cepet ye!” kata Fahri mengingatkan.
“Sip! Nanti kalo udah kelar balikin aja ke tas gue!”
Fahri pun mengangguk patuh layaknya hewan peliharaan gue.

Normal POV’s


Ana pun keluar dari toilet dan mendapati Remy tengah berlari melewati dirinya. Aroma tubuh Remy pun tercium nan menenangkan untuknya.
Kenapa cowok bisa se-wangi itu sih? Bikin melting! Ucap Ana dalam hati.
Ana pun melihat jam yang menggantung indah ditangan kecilnya, ia melihat kalau kelas akan mulai 15 menit lagi, ia langsung bergegas menuju kelas. Ana pun duduk di row ke 3 lantaran di tempat itu masih ada satu kursi kosong yang tersisa. Sejujurnya ia ingin merasakan duduk di row ke 4 namun ia menghindari tempat paling belakang di kelas karena disanalah Remy duduk. Ana takut tidak fokus nantinya.

Fahri pun celingukan melihat sekeliling ketika ia menghirup aroma tubuh Ana yang semerbak wanginya dan ia pun mendapati Ana sudah duduk manis di serong sebelah kanannya. Wajah putihnya memerah lantaran sengatan matahari siang. Fahri pun mengecek aplikasi BBM yang ada di ponsel Remy.

Sejujurnya, dirinya meminjam ponsel Remy bukan untuk mengirim SMS tapi ia penasaran sedekat apa Remy dengan Ana. Saat di cek, ternyata begitu panjang dan banyak isi chatting mereka yang dilakukan rutin setiap hari.

Dengan suasana kelas yang panas dan hatinya yang mendadak panas, tanpa pikir panjang Fahri pun mengakhiri obrolan yang dilakukan Remy dan Ana di BBM. Ia pun langsung membuka kontak Ana disana, dan mengklik tulisan delete contact.

To be continue….

Rabu, 23 September 2015

College Life Part 2



REMY POV’s

Punya dosen yang suka ngebanyol seru juga ya ternyata. Tanpa sadar pun syaraf ketawa gue terus-terusan terangsang. Tapi ngomong-ngomong, gue udah dua jam di kelas ini tapi masih belum tau nama cewek masam yang sedaritadi gue liat dia udah mulai ikutan ketawa.
Oke, gue gak begitu peduli sih sama dia.
Dan tanpa terasa kelaspun berakhir dan gue harus kembali ke habitat gue.
“Wes, Remy! Si maba baru pulang ngampus nih?” suara ngebass itu? Itu temen gue namanya Riqi. Dia dua tahun diatas gue.
Tiba-tiba kepala gue diteplak seseorang yang tak lain dan tidak bukan adalah Adi. Dia memang punya hobi teplak pala orang.
“Iya, baru balik gue. Asem nih, bagi dong!”
Temen-temen gue yang udah biasa dikodein cewek pun langsung peka sama kode yang gue berikan. Namun, tiba-tiba, dalam dua kali isapan, gue mendadak kepikiran dan penasaran, apakah si cewek masam yang masih belum gue ketahui namanya itu suka cowok perokok? Karena sepertinya, dia cewek alim nan baik-baik yang peduli dengan kesehatan.
Dan bodohnya, buat apa gue mikirin hal itu?

ANA POV’s

Aku benar-benar benci dengan orang yang merokok di kendaraan umum! Dalam perjalanan pulang dari kampus, aku pasti akan terus menaiki angkutan umum lantaran orang tuaku tidak mengizinkanku mengendarai kendaraan pribadi. Karena aku cewek, katanya, dan mereka takut akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kalau aku mengendarai kendaraan pribadi.
Berhubung orang itu lebih tua dariku, aku jadi tidak bisa menegurnya lantaran ‘ngeri’ dianggap tidak sopan. Jadilah aku hanya berpura-pura batuk didekatnya.
Tanpa terasa, akhirnya aku sampai di rumah. Aku berjalan sedikit dan memasuki pelataran rumahku. Tampak depan rumahku sih seperti rumah normal kebanyakan, namun terkadang aku takut kalau harus memasuki rumah bercat orange itu.
Oke, ini masih siang dan bokap pasti belum pulang.
Aku mengucapkan salam lalu memasuki kamarku. Aku merasa, kehidupan perkuliahan yang akan kujalani masih belum terlihat titik terang keseruannya. Tapi gak masalah sih karena tujuanku kuliah untuk menuntut ilmu bukan untuk menuntut keseruan.
Semakin larut aku berpikir, semakin aku terasa mengantuk…

Normal POV’s

Remy memarkirkan motronya di pelataran parkiran kampus yang akan menjadi saksi bisu kisah mereka berdua dan Ana pun baru saja turun dari angkutan umum yang ia naiki. Meski berada di jarak dan tempat berbeda, mereka berada di tujuan yang sama yaitu kelas.

Berhubung absen sudah dimulai, nama-nama pun sudah tercantum dan kini Remy mengetahui nama cewek yang ia anggap berwajah masam yaitu Ana.

Meski pendiam, sesungguhnya Ana adalah pengamat dan peneliti yang jeli. Meski sedikit berbicara, ia mengetahui banyak hal yang pastinya akan membuat teman-teman sekelasnya terkagum-kagum olehnya.

Dan semua terjawab saat satu minggu pertama mulai aktif perkuliahan. Remy pun menyadari bagaimana cerdasnya Ana berbicara, mengemukakan pendapatnya dan dari setiap pertanyaan yang terlontar dari bibir kecilnya terkadang sulit di cerna oleh teman-temannya.

Hingga akhirnya Remy memberanikan diri untuk menyapa Ana,


“Eh, nama lo siapa sih?” Tanya Remy spontan.
“Ana, kenapa?”
“Oh, gak apa-apa, takut salah aja,”


Dan kecanggungan pun menyelimuti mereka berdua. Ana yang sudah mengetahui nama Remy pun hanya melihatnya sekilas dan kembali berpaling. Sempat ada perasaan aneh di dada Ana, namun ia tak memperdulikannya.

Hari-hari pun berlalu dan mereka hanya bisa saling menatap dalam diam. Ana yang sadar akan kecanggungan ini pun semakin penasaran ada apa dengan Remy. Sampai akhirnya ia tertarik dan ingin mengetahui Remy lebih dalam.

Dan Ana pun memutuskan untuk memberanikan diri menyapa Remy saat mereka tengah berjalan bersama menuju luar gedung kampus,

“Rumah lu dimana, Rem?” Tanya Ana hati-hati.

“Cibinong. Kalau lu?” Remy pun kembali menanyakan pertanyaan dengan harapan percakapan ini tidak ada akhirnya.

“Loh, sama! Di sebelah mananya?”

“Gue sebelum CCM, kalau lu?”

“Yah, lumayan berarti yaaa, gue deket Setu Dora.”

“Hmm.. mau bareng? Ya sampai perempatan aja sih.” Ucap Remy hati-hati meski sebenarnya, ia ingin mengantar Ana sampai rumahnya.

“Ah, gak usah. Gue punya temen barengan kok, kapan-kapan aja kali ya kalau lagi buru-buru.” ucap Ana senang karena akhirnya ada juga pria yang mengajaknya pulang bareng, seperti di novel saja, pikirnya.

“Oh, okay.” Remy pun tersenyum.

“Okay, duluan ya!” salam perpisahan dari Ana.

Remy sepertinya enggan untuk memalingkan wajahnya. Ia tampak terkesima dengan percakapan singkat yang mereka lakukan.

“Ayo, Rem!” tiba-tiba Fahri –teman sekelas Remy- muncul dan mengajaknya saat melihat Remy tak berhenti memandang Ana.

Remy kenapa melihat Ana sampai seperti itu? Dia… suka Ana?

To be continue….

College Life Part 1



ANA POV’s

Earphone yang mengganjal di telingaku mulai memenuhi syaraf otak dikepalaku. Mungkin, di bagian otak kananku sudah dipenuhi dengan playlist favorit yang sering dikumandangkan. Dengan langkah gontai aku memasuki kelas baru yang entah siapa yang akan menjadi teman, sahabat atau bahkan –ehm, pacarku nantinya. Mungkinkah akan ada pria spesial disana?

Tanpa ragu, aku menduduki kursi paling depan yang berada di kelas ini. Bukan, bukannya aku mau ‘sok pintar tapi memang hanya tersisa kursi itu dan aku malas kalau harus berkeliling kebelakang mencari kursi yang kosong.

Saat aku duduk, ada seorang wanita berambut sebahu di samping kananku dan ada seorang wanita berambut pirang di samping kiriku. Mereka mengobrol disaat aku ada ditengah-tengah mereka. Bukankah itu menjengkelkan?

Lagi, aku hanya bisa diam mendengarkan alunan Locked Away nya Adam Levine ft. R. City. Dan aku pun hanya menunduk melihat sepatuku yang tak kusadari ternyata talinya lepas sedaritadi. Alih-alih mengaitkannya kembali, aku malah mendiamkannya dan cenderung menggoyang-goyangkannya.

Namun, ada hal aneh saat aku mulai tegak memandang di hadapanku. Ada seorang pria disana yang sepertinya baru saja memperhatikanku. Hmm gak mungkin sih ya sepertinya aku hanya berkhayal.
Dan seorang dosen pun memasuki kelasku.

REMY POV’s


Gila kali kalau setiap hari harus naik tangga sampai lantai 5! Ada lift, sih, tapi cuma untuk rektor, wadafak men! Anak tangga demi anak tangga pun harus gue tempuh dari lantai 1 dan disaat-saat seperti inilah saatnya gue berharap punya pintu kemana sajanya Doraemon.

Saat menginjak lantai 4, gue bara aja sadar ada cewek dengan muka masam berjalan mendahului gue. Rambut panjang hitam yang digerainya tetap gak bisa menutupi earphone yang ia kenakan. Entah kenapa, gue mendadak merasakan sesuatu yang menarik akan terjadi dan tanpa sadar, gue menyunggingkan senyum termanis yang pernah gue miliki.

Gue pun melanjutkan perjalanan, lalu tiba lah gue dilantai 5, saat memasuki kelas, di bangku paling depan –gue antara terkejut dan enggak terkejut, sih, lantaran entah kenapa gue udah yakin aja cewek yang tadi gue temuin di lantai 4 bakal menjadi teman sekelas gue. Ya jelas aja sih, di topi OSPEK nya ada angka 5! Hahahaha.

Untung aja saat gue perhatiin, dia sedang sibuk ngedumel (maksud gue nyanyi-nyanyi gak jelas lantaran earphone ditelinganya terlihat masih mengeluarkan suara) sambil meratapi tali sepatunya yang lepas. Dan tiba-tiba, dia sadar kalau gue sedang memperhatikan dia.
Dan dosen berambut hitam legam pun memasuki kelas.

To be continue…

Jumat, 27 Desember 2013

Takperlu Kuungkapkan (2)



                Semalaman Andini tidak bisa tidur memikirkan Randy Assegaf. Foto yang di genggampun tak terlepas dari tidurnya.
***
                “Nay! Naya! Disini!”  teriak Dini memanggil seorang wanita dengan tinggi semampai di kuncir kuda. Anak rambutnya dibiarkan menari di pelipisnya. Semakin menegaskan rahang di wajah ovalnya. Wanita itupun berjalan tergesa-gesa menuju arah suara.
                “Ada apa, Din? Se-urgent apa sih beritanya? Sampe mimpi indah gue terganggu ngedenger i-messages dari lo,” cerocos Naya sambil mecondongkan wajahnya.
                “Hehe, sorry beib.. lo mau pesen apa? Sini gue pesenin,”
                “Bayarin sekalian yaa. Gue lagi pengen gado-gado Bu Marni, nih.”
                “Sip,”
                Andini berjalan anggun menyusuri kerumunan. Padahal masih jam sembilan pagi, tapi Cafetaria FMIPA sudah mulai ramai. Mungkin banyak yang belum sarapan. Maklum, kebanyakan anak disini adalah anak kos.
                Andini pun memesan pesanan Naya. Selang beberapa lama, gado-gado pesanannya pun jadi.
                “Ah, thankyou my bestieee,” ucap Naya dengan nada bangga ketika memanggil wanita cantik didepannya dengan sebutan ‘bestie’
                “My pleasure as well, hun”
                “Oke, sambil gue makan, lo harus mulai cerita. Ada apa sebenarnya? Sampe lo susah tidur dan kemudian punya mata panda kayak begini?” ucap Naya khawatir.
                Andini mulai mengeluarkan selembar foto.
                “Jangan lihat belakang foto ini, sebelum lo kenali betul siapa orangnya! Lo kan humas di kampus kita, lo pasti kenal sedikit-banyak mahasiswa disini kan?” ucap Andini sebelum memberikan foto tersebut.
                “Bawel. Sini coba gue liat!” ucap Naya tak sabaran.
                Naya menerka-nerka foto yang sedang dipegangnya. Antara ragu, dia akhirnya menjawab.
                “Dia bukan anak sini. Anak fakultas lain. Lebih tepatnya, fakultas psikologi” ucap Naya gamblang.
                “Serius? Semester berapa?”
                “Yang jelas, dia senior kita.......... Tunggu. Masa lo gak inget sih dia siapa?” ucap Naya setengah mengunyah gado-gadonya.
                “Enggak. Emang dia siapa?” ucap Andini bingung.
                Naya geleng-geleng “Dia Kak Randy yang nolong elo waktu lo kesasar di hutan. Dia senior cowok yang paling pertama sadar pas lo ilang. Lo gak inget?”
                “Astagfirullah. Enggak, gue gak inget sama sekali. Lo kan tau gimana keadaan gue waktu itu”
                “Iya bener juga. Lo kacau banget. Tanah dimana-mana, lo pun gak bisa melek karena banyak tanah di mata lo. Lo emang abis main tanah? Haha,” ucap Naya meledek
                “Jahat lo, beib. Gue masih trauma nih sama hutan,”
                “Iya iya, sorry.” Ucap Naya sambil minum Es Teh manis milik Andini “Sekarang, gue boleh liat belakangnya?”
                “Ya, silahkan. Toh, lo udah tau siapa orangnya.”
                “Wuidih. Ada nomer ponselnya segala. Hmmm, pertanyaan gue sekarang adalah... darimana lo dapet foto ini?” tanya Naya penuh selidik.
                “Nih, dari halaman paling belakang buku ini.” Andini menyodorkan buku yang tidak terlalu tebal dengan cover bergambar sepasang kekasih yang sedang bergandengan dan dibelakangnya ada seorang pria yang memperhatikan dengan penuh kepedihan.
                “Buku ini??? Buku dari penggemar rahasia lo?! Gilaaaaaa! Beruntung banget lo di taksir sama Kak Randy!” teriak Naya sumringah.
                “Ett bocah. Pelan-pelan!”
                “Ups, sorry. Jadi, lo mau cari tau tentang dia?” tanya Naya penuh selidik.
                “Mungkin,”
                “Trus, lo sama Lana gimana?”
                “Gak gimana-mana. Gue cuma penasaran kok. Gak akan berimbas ke hubungan gue sm dia,” ‘mudah-mudahan’ lanjut Andini dalam hati.
***
                Pagi hari yang cerah ketika tiga orang gadis memperhatikan seorang pria tampan memarkirkan Kawasaki Ninja berwarna hijau miliknya.
                “Sana buruan! Ntar Kak Lana keburu pergi,” kata salah satu gadis.
                “Iya sana! Jangan kayak kemarin-kemarin ya! Bisanya cuma ‘Hai Kak Lana, apa kabar?’ setelah    dia jawab, kamu malah kabur.” Kata gadis lainnya
                “Aku takut. Duh, doain aku ya!” ucap gadis yang sedaritadi di desak oleh teman-temannya.
                Ketiga gadis ini masih lengkap dengan atribut OSPEK mereka. Politeknik Negeri Jakarta memang sedang melangsungkan OSPEK. Gadis berpipi tirus terus berjalan dengan keyakinan seperti biasa. Segenggam cokelat yang ia bawa selalu terlihat sama seperti cokelat yang ia bawa hari kemarin. Namun, siapa sangka bahwa itu adalah cokelat yang baru saja ia beli di supermarket. Dengan tambahan pita hijau di atas bungkus cokelat yang masih sangat terlihat rapi.
                Seketika gadis yang membawa cokelat itu berhenti. Ia ragu. Ia menoleh ke arah teman-temannya. Seakan bertanya, teman-temannya berkata “Ayo terus! Cepet! Ntar keburu pergi!” dengan setengah keberanian yang mulai memudar. Gadis yang membawa cokelat kemudian setengah berlari menghampiri pria tampan dengan leather jacket-nya yang sedang berbincang dengan salah satu temannya di pelataran parkiran.
                “Hai, Kak Lana. Apa kabar?” tanya sang gadis dengan meletakkan cokelatnya di belakang punggungnya.
                “Baik,” yang di sapa pun hanya menoleh sepintas kemudian melanjutkan obrolannya.
                Sang gadis hendak kabur seperti kemarin pagi di tempat yang sama. Namun teman-temannya mencegat dan meraih cokelat yang di genggamnya.
                “Hai, Kak Lana. Ini cokelat dari Amel. Dimakan ya, Kak. Semoga kakak suka,” kata salah satu temannya sambil menunjuk ke arah Amel yang tengah memerah.
                Teman Lana pun tertawa kecil mendengarnya. Kemudian berkata “Gue duluan ya, Lan. Di panggil Tony,” masih sambil tertawa. Kali ini, tawanya menjadi nyaring.
                “Kenapa gak kabur aja lagi kayak kemaren? Gue males ngadepin anak ABG kayak kalian. Lain kali kalo ada apa-apa to the point aja. Gak usah basa-basi dengan nanya kabar. Kayak kerabat lama aja! Emang lo siapanya gue?” ucap Lana pedas.
                Wajah Amel kian memerah. Bibirnya menjadi pucat. Tangannya mendingin. Matanya panas. Amel tidak menyangka akan di sembur sedemikian rupa oleh Kak Lana. Dia memang pria yang dingin dan ketus. Amel tau hal itu. Tapi Amel tak menyangka perbuatannya balakangan ini malah membuatnya jengah.
                Kak Lana pun pergi tanpa menyentuh cokelat dari Amel.
                “Kak! Gak seharusnya kakak bersikap kayak gitu! Mentang-mentang kakak seorang senior. Bisa gitu ya nyemprot kata-kata pedas ke junior?” kata teman Amel yang lainnya.
                Kak Lana pun tetap berjalan tanpa menoleh. Namun dalam hatinya berkata.
                “Tidak. Jangan lagi. Jangan terulang lagi.”