Cerpen
Suatu senja di lain semesta, di suatu rerumputan nan hijau bersama sebuah sungai dengan aliran air yang cukup deras dan menyejukkan. Seorang gadis berambut hitam panjang sedang memohon kepada sesosok malaikat putih. Gaun merah mudanya tertiup angin hingga menampakkan betis mungilnya yang putih. Sang malaikat melihatnya nyaris tanpa ekspresi.
Tok tok tok.
Pukul 19.00
Berhenti Menangisiku (Cerpen)
Suatu senja di lain semesta, di suatu rerumputan nan hijau bersama sebuah sungai dengan aliran air yang cukup deras dan menyejukkan. Seorang gadis berambut hitam panjang sedang memohon kepada sesosok malaikat putih. Gaun merah mudanya tertiup angin hingga menampakkan betis mungilnya yang putih. Sang malaikat melihatnya nyaris tanpa ekspresi.
"Tolong lah aku, Malaikat. Katakan kepada Dewa bahwa aku ingin segera menemuinya. Sudah hampir setahun aku tersiksa karenanya, karena air matanya. Sungguh menyiksaku!" Ucap gadis anggun itu.
"Baiklah, aku tak ingin berjanji kepadamu. Tapi, akan Ku usahakan yang terbaik."
Seketika, malaikat itu
menghilang.
"Terima kasih banyak, Malaikat Putih!" Teriak gadis anggun itu kepada langit yang kosong.
Suaranya memenuhi semesta penuh
harapan. Lalu, ia berjalan menuju sungai dan duduk di sebuah batu yang besar.
Ia memandang sungai yang sangat jernih dan bening hingga ia bisa melihat dasar
sungai tersebut.
Hingga seketika,
"Aww!" Jantungnya yang telah mati terasa hidup kembali karena rasa sakit yang sudah menjadi makanannya sehari-hari.
Ia kembali menatap sungai yang
jernih itu. Ia yakin, semuanya akan berakhir.
***
Tok tok tok.
Ketukan pintu pun ia hiraukan. Ia
kembali menangis tadi pagi hingga tertidur. Matanya hitam bagai seekor panda,
rambutnya gondrong dan acak-acakan.
"Erza! Buka pintunya! Lo udah seharian gak keluar kamar!" Teriak suara seorang wanita dari luar kamar kost Erza.
Klik.
Erza membuka pintu dengan keadaan
setengah sadar.
"Oh, Zora. Kenapa?" Tanyanya malas.
"Lo belom makan seharian kan? Ayo kita makan!" Ajak Zora menarik tangan Ezra.
Alih-alih menjawab, Ezra menepis
tangan Zora. Ia pun kembali masuk. Tak lama kemudian ia kembali keluar dengan
mengenakan jaket cokelat yang dekil.
"Gak usah, terima kasih." Akhirnya Erza menjawab.
"Hei, lo mau kemana?" Tanya Zora ketika lawan bicaranya berjalan melewati dirinya, "Plis, jangan mie ayam lagi!" Lanjutnya tetapi lawan bicaranya semakin menjauh.
Erza berjalan dengan tatapan
kosong. Ia berjalan tanpa henti, berbelok jika perlu dengan terus berjalan.
Hingga akhirnya, ia masuk ke tenda penjual mie ayam.
"Pak, mie ayam seperti biasa ya." Ia pun duduk di kursi yang telah disediakan dengan tatapannya yang kembali kosong.
***
"Bagaimana, Malaikat?" Tanya gadis anggun itu penasaran ketika sesosok malaikat putih menghampirinya.
"Kau diperbolehkan menemuinya." Ucap malaikat itu datar.
"Benarkah???? Terima kasih banyak!" Ucapnya senang bukan main.
"Tetapi dengan beberapa syarat."
"Syarat? Kupikir akan mudah. Apa saja syaratnya?" Tanya nya sedikit jengkel.
"Kau hanya diperbolehkan menemuinya sampai jam enam sore waktu setempat. Kau harus segera berusaha menyampaikan pesanmu padanya. Jika kau menginginkan dia untuk melihatmu, Dewa akan mengizinkannya tapi kau akan lupa tujuanmu datang padanya. Jadi, sebaiknya kau sampaikan pesanmu secara tersirat karena akan sia-sia saja jika ia melihatmu namun kau melupakan tujuanmu. Omong-omong, apa sebenarnya tujuanmu untuk menemuinya?"
Gadis anggun itu melongo, ia
hampir tak mendengar pertanyaan malaikat.
"A-aku hanya ingin ia untuk berhenti menangisiku,"
***
Setelah selesai makan mie ayam,
Erza berjalan lurus tanpa ragu. Tatapannya masih kosong, entah apa yg ia
pikirkan. Hingga akhirnya, ia berhenti di depan sebuah makam. Ia menatap gapura
makam tersebut, dilihatnya sebuah nama "Makam Ratu Ayu" lalu ia
memasuki makam tersebut.
Langkahnya tegas, tatapannya
tajam di gelapnya malam, meski berkali-kali ia menginjak daun kering dan
ranting yang rapuh. Ia tak peduli, ia hanya ingin menemui sahabatnya
--sekaligus cinta pertamanya. Hingga akhirnya, ia berhenti di sebuah batu nisan
dan berjongkok mengelus batu tersebut.
"Halo, Anna. Apa kabar?" Lirihnya menahan tangis.
"Gue... Gue bener-bener gak bisa maafin diri gue sendiri, An. Udah hampir setahun kepergian lo tapi gue masih belum bisa terima. An, gue kangen lo!" Air mata mulai menetes di pipi tirus Erza.
Tiba-tiba sosok bergaun merah
muda muncul di hadapan Erza.
"Pantes jantung gue sakit lagi. Lo nangisin gue! Plis, Erza, stop! Lo gak tau betapa tersiksanya gue." Teriak sosok bergaun merah muda itu.
"Andai gue gak berniat nembak lo saat Valentine. Andai kita gak janjian di taman itu. Pasti.. Pasti lo masih ada sampe sekarang. Gara-gara gue, lo kehilangan cita-cita lo sebagai dokter. An, maafin gue....." Erza mulai terisak dan Anna semakin tersiksa.
"Anna, kalau lo ada disini, gue bakal ajak lo ke kamar kost gue. Kita nonton film bareng, dan di saat gue ketiduran, lo dengan apiknya ngbeberesin kamar gue yang... Yang berantakannya udah mirip kapal pecah. An, lo pasti liat gue kan? Gue.. Gue gak pernah bisa berhenti nangis kalau udah nangisin lo. Maafin gue, An. Gue.. Gue bener-bener kangen sama lo. An.. Gue sayang lo... An... Huhuhu" tangis Erza memeluk batu nisan milik Anna.
Anna mulai pilu melihat Erza. Ia
mendekatkan wajahnya pada wajah Erza, ia mulai menatapnya dengan seksama. Dagu
lancipnya, hiding mancungnya, kulit eksotisnya—tidak berubah. Namun, satu hal
yang membuat Anna kesal, rambutnya gondrong untuk ukuran laki-laki. Rasanya,
Anna ingin menjambaknya.
"An.. Hiks. Lo tau gak kenapa rambut gue jadi gondrong seperti ini?" Anna mendelik. Erza seakan-akan tau pikirannya.
"Karena.... Gue kangen ketika jari-jari lo menyusup masuk ke sela-sela rambut gue dengan gemas. An.. Jambak gue dong." Lanjutnya sambil menjambak rambutnya frustasi.
"Dasar bodoh! Gue gak bisa jambak lo lagi, Erza. Bodoh! Erza bodoh! Jangan nangis lagi di makam gue, Za. Itu cuma bikin gue tersiksa!" Ucap Anna kesal mulai menangis.
"An, gue ngerasa lo deket sama gue. Kayak.... seakan-akan lo ada di samping, bahkan di hadapan gue." Ucapnya tersenyum, setetes air mata menetes jatuh ke tanah makam milik Anna.
"Huuuu. Erza!!!!" Anna melompat memeluk Erza.
"Aduh!!!" Ternyata tubuh Anna menembus tubuh Erza dan seketika ia jatuh terjerembap ke tanah.
"Udara semakin dingin, An. Gue rasa, gue harus segera pulang. Besok gue kesini lagi kok. Dah, Anna." Ucap Erza seraya mencium batu nisan Anna.
"Erza tunggu!! Gue ikut!!" Anna segera bangkit dan berlari kecil menyamakan langkahnya dengan Erza.
Kini, ia berada di samping Erza.
Ia menoleh dan mulai mengamati Erza. Lalu, ia melihat ke menara jam yang besar
di tengah kota.
"Baru jam 9 malam? Baik lah, waktu yang kumiliki masih banyak. Aku pasti bisa memanfaatkannya! Pokoknya Erza gak boleh nangisin aku lagi!"
Erza memasuki kamar kost
miliknya. Mendadak, ia ingin sekali menonton film kartun favorit Anna. Ia
mengambilnya lalu mulai menyetelnya.
Anna pun terkesiap saat melihat
kamar Erza.
"Erza... Kamar lo. Bener-bener kapal pecah! Bahkan gak ada ruang buat gue duduk."
Born of cold in winter air and
mountain rain combining....
"Whoah!!!!! Frozen!!!!" Anna kegirangan melihat apa yang ada dilayar TV berukuran 24inch itu.
Akhirnya Anna duduk dan menonton
film kartun favoritnya bersama Erza.
Anna menoleh hendak ingin melihat
Erza, namun ternyata Erza sudah tertidur. Anna menatap Erza dengan seksama,
seketika jantungnya yang telah mati kesakitan. Dan, dilihatnya setetes air mata
menjatuhi pipi Erza.
"Erza, plis.. kapan lo mau berhenti nangisin gue?"
***
0 comments: