Cerpen

Lombok (Cerpen)

2:51:00 PM Fajria Anindya Utami 2 Comments

"He? Cabe? Erica? Ngapain??? Kok gak bilang?" tanya Rumi terkaget-kaget saat melihat Cabe dan Erica sudah nangkring di kamarnya bersama koper.
"Akhirnya datang juga. Yuk caw. Gue udak pack-in barang lu." Kata Cabe seraya menarik koper dan tangan Rumi.
"Caw? Caw kemana?"
Cabe pun menunjukkan tiket menuju Lombok. "Ke kampung gua,"
"Lu gila? Gue senin masih kerja!" kata Rumi masih kebingungan.
"Elah kerja mulu lu. Liburan lah kali-kali. Ayo ah buru! Flight jam 1 nih kita." Kata Cabe lagi masih menarik Rumi.
Rumi pun terseret-seret ditarik Cabe.
"Mbuy, kamu diem aja. Ini kenapa?? Ada apa?"
Erica pun hanya tersenyum. "Nurut aja sama kita ya."
Rumi mengernyit. Ia kebingungan dengan sikap Cabe dan Erica. Nempel pantat aja belum, udah harus pergi lagi.
"Hati-hati ya, Mbak." Kata Ayah nya keluar kamar. "Bawa oleh-oleh kalo sempet." Kata Ibu nya tiba-tiba.
"I.. Iya.."
"Pamit, Abi, Umi..." kata Cabe sok akrab.
"Mang emak bapak lu?"
"Iyalah kakak ipar. Ayang gua aja tadi gua kelonin di kamarnya."
"Alig lu dasar."
"Be, buruan deh. Taxi nya udah nungguin." Kata Erica menyela.
"Iye iye. Yuk buru."
Rumi kebingungan. Ia pun hanya menurut dan langsung duduk di dalam taxi serta membiarkan Erica dan Cabe memasukkan barang-barang mereka ke bagasi.
Ini kenapa?? Ada apa????

***

Bandar Udara Internasional Lombok pukul 4 pagi
"Mbuy, Cabe.. ini pagi buta. Kita mau kemana?"
"Udah, aman pokoknya."
Rumi pun hanya menuruti kata-kata Erica dan Cabe. Ia tak tau harus apa, hanya mengikuti mereka berdua hingga mobil pribadi –yang Rumi yakini adalah mobil sewaan, mobil itu pun membawa mereka ke pantai yang sepi di dini hari.

Rumi kembali celingukan, masih bingung dengan apa yang terjadi. Hingga tiba-tiba matanya ditutup oleh selembar kain dan ia tak bisa melihat apapun kecuali kegelapan.
"Eh eh eh... ulang tahun gue masih lama! Kok gue ditutup gini kayak mau dapet surprise aja???"
"Udah pokoknya lu keluar dari mobil sekarang!" kata Cabe tiba-tiba galak.
"Iya iya..."
"Ikutin kita," kata Erica menarik tangan Rumi.
"Iya iya..."
Suara deburan ombak pun terus menggema di telinga Rumi. Dan Rumi masih kebingungan ia akan dibawa kemana. Masa sih teman-temannya akan mendorong dia ke laut? Gak mungkin kan.
Setelah sekian lama berjalan tiba-tiba langkah Rumi terhenti. Lalu, Erica yang sedaritadi menuntunnya tiba-tiba melepaskan genggaman dan meninggalkan Rumi sendirian.

"Be.... Erica....?" Panggil Rumi sambil menggapai-gapai dengan jemarinya.
"Eh... kalian.... Kok diem?" Rumi masih bersuara.
"Eh... Kok sepi sih? Jangan sampe gue joget Caesar nih." Oceh Rumi lagi.
"Gue buka ya???"
"Cabe....? Kalo gue buka lu marah gak...?"
Masih juga tak ada jawaban.
"Oke gue buka ya..."
Rumi pun membuka penutup matanya.

Jeng jeng....

Di hadapannya kini ada sebuah layar putih besar dengan proyektor. Dalam sekejap, tiba-tiba sebuah video pun diputar.
"Halo!!!"
Itu adalah Rumi sewaktu remaja.
"Kita lagi dimana?" tanya Devan yang berada disamping Rumi.
"Di curug cilember! Adaw..." jawab Rumi yang langsung merintih sok sakit saat Devan menggerakan kepala Rumi agar menyender di pundak Devan.
"Di beliin gelaaang.." kata Rumi lagi.
"Murah gelangnya..." timpal Divan.
"Cuma goceng! Haha."
Rumi terkesiap menonton video yang diputar. Air matanya menetes begitu saja melihatnya. Itu adalah video yang sempat Rumi dan Devan buat sewaktu mereka pergi ke Curug Cilember.
"Kayaknya... ada orang yang mau dilamar. Daritadi ada tulisan ini. Aku juga mau dilamar disini!" kata Rumi di depan kamera saat melihat tulisan ‘I love you’ dari karangan bunga.
"Kodeeeeeee keras!" timpal Devan.
Menonton itu, Rumi pun tertawa dalam tangisnya. Ya ampun, ini pasti kerjaan Devan!
Hingga video itu pun habis dan muncul lah Devan dalam video.
"Rumi... maaf gak bisa bawa kamu ke Curug Cilember lagi. Aku... takut..." kata Devan.
"Aku pernah baca postingan Tumblr kamu. Kamu bilang, waktu kamu masih pacaran sama Rusdi, bulan Agustus kamu ke Curug Nangka dan bulan Oktober kalian putus. Terus, kita ke Curug Cilember bulan Mei, dan putus di bulan Juli. Jaraknya sama... dua bulan." Kata Devan di dalam Video.
"Bukannya aku kolot dengan percaya hal-hal kayak gitu, tapi aku menghindari hal yang gak aku pengen. Mungkin kamu gak begitu suka pantai dan lebih suka air terjun, tapi kalo boleh jujur, aku lebih suka pantai. Makanya sekarang, disini... di tempat yang aku suka, aku akan......"
Zleb.... tiba-tiba video tersebut mati.

Rumi pun celingukan dan penasaran ada apa... lalu layar putih besar itu pun jatuh ke pasir dan ada seseorang dalam kegelapan yang sudah berdiri disana hingga membuat Rumi semakin terkesiap.
Devan.

 Ia berjalan menghampiri Rumi. Dan dalam satu jentikan jari, tiba-tiba suasana ramai. Di sisi Rumi, teman-temannya ramai berkumpul. Lalu di sisi Devan, ramai pula teman-temannya.

Angin pantai saat dini hari pun terus berhembus yang dinginnya sampai menusuk kulit meski Rumi selalu memakai pakaian yang tertutup mulai dari kepala hingga kaki yang hanya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.

Devan pun semakin mendekat hingga akhirnya ia dapat sejajar dengan Rumi.

Pada dini hari ini, Devan terlihat cukup tampan dengan setelan kemeja yang digulung dan celana jeans santai. Rambutnya tetap sama, selalu ia usahakan untuk rapih padahal daridulu Rumi suka rambut Devan yang acak-acakan.

Devan pun tersenyum.
"Ini... kenapa...? Ada apa...?" tanya Rumi dengan degup jantung yang tak dapat ia sembunyikan.
"Gak kok. Gak ada apa-apa." Kata Devan. "Kita lagi syuting." lanjut Devan lagi.
"Serius...?" tanya Rumi tak percaya.
Devan tertawa. "Kamu gampang diculik ya emang."
Rumi pun hanya garuk-garuk kepala.
Hening.
Canggung.
"Ehm.. Rumi." Kata Devan.
"Rumi... sebelumnya... aku mau minta maaf sama kamu." Lanjut Devan lagi.
"Minta maaf kenapa?" tanya Rumi bingung.
"Dulu udah ninggalin dan nyakitin kamu."
Rumi pun tertawa kecil.

"Udah lama banget itu, aku juga udah lupa rasa sakitnya."
"Kalo inget kejamnya aku yang udah ninggalin kamu, rasanya aku mau ngerutuk diri aku sendiri." Kata Devan menunduk.
"Udah gak usah diinget." Kata Rumi menenangkan.

*play (video) nya*
"Rumi... bertahun-tahun aku nyoba nyari pengganti kamu. Bertahun-tahun aku nyoba buat jatuh cinta lagi. Bertahun-tahun aku nyoba buat ngelupain kamu. Dan... bertahun-tahun itu pula aku gagal." Kata Devan masih menunduk.
"Aku mungkin sempet kesel, gondok atau apapun lah sama kamu. Tapi tetep aja. Rasanya masih sama, Rumi. Aku masih sayang sama kamu."
"Mungkin dari dulu aku sering bilang ini, tapi ini benar adanya Rumi; you're the first girl that caught my attention. An alpha, a cheerful girl, a tough girl who has beautiful smile all the time and have a heart that made from gold. You're still the one in a billion, Rumi. I have to tell you this anymore because I love you more than I love myself, because you have taken my whole life, there's nothing left I could say but...."
Devan tiba-tiba berlutut dan mengeluarkan cincin.
"Will you marry me, Rumi?"
Sinar mentari yang mulai naik di ufuk timur pun langsung menyinari. Rumi terkesiap. Ia menangis tak percaya. Seluruh teman-temannya dan teman-teman Devan disini. Menjadi saksi bagaimana Devan melamarnya.
"Aku mungkin penuh kekurangan, Rumi. Tapi aku akan selalu berusaha untuk menjadi suami yang baik nantinya, juga menjadi ayah yang hebat buat anak-anak kita."
Rumi pun kembali menangis. Sejak kapan Devan jadi se-visioner ini?
"Dan udah jadi resiko aku untuk menerima kekurangan kamu, Rumi. Nanti, aku akan selalu mendukung kelebihan-kelebihan kamu." Lanjut Devan lagi tersenyum menatap Rumi.
"Rumi... maafin aku yang dulu. Maafin aku yang pernah nyakitin kamu. Maafin aku yang pernah ninggalin kamu. Maafin aku yang pernah ngebuat kamu depresi sendirian dalam kekosongan. Maafin aku yang pernah ngebuat kamu bercumbu dengan kenangan. Maafin aku yang pernah ngebuat kamu tersiksa dengan sikap gak peduliku. Maafin aku yang dulu bocah dan kekanak-kanakan, Rumi. Maafin aku... Maafin semua kekurangan dan kesalahan aku."
"Tapi tolong percaya aku sekarang. Aku kayak gitu untuk mencapai semua mimpi aku, Rumi. Supaya aku semakin pantas untuk bersanding dengan kamu. Supaya aku semakin pandai membahagiakan kamu."
Rumi terkesima.
"Aku tau kamu udah nelen banyak pil pahit kehidupan. Banyak guncangan kehidupan yang udah kamu rasain. Sampai kamu lupa rasanya perih dan menjelma menjadi perempuan yang tangguh seperti sekarang ini."
"Rumi... Sekarang ataupun nanti, gak usah nanya-nanya lagi kenapa aku mau sama kamu. Semuanya udah jelas. Aku mencintai kamu sepenuh hati karena pribadi kamu. Aku tulus mencintai kamu. Dengan ketulusan yang mungkin kata tulus aja gak cukup untuk menjelaskan."
Rumi mulai terisak.
"Rumi... Aku mau mencintai kamu kini dan nanti. Dari dulu... sampai detik ini dan entah sampai kapan... yang aku harap sampai maut memisahkan. Yang aku tau cuma, aku mencintai kamu, Rumi. Sekali lagi... menikahlah denganku, Rumi. Akan aku cukupkan kebutuhanmu. Akan aku penuhi keinginanmu. Sampai aku letih, sampai aku berdarah perih. Aku akan upayakan apapun agar senyum dan keceriaan kamu selalu ada buatku. Dan aku akan terus berusaha menjadi alasan dibalik itu."
Devan pun mendongakkan kepalanya dan melihat Rumi menangis tersedu-sedu.
"No.... Rumi, plis, jangan nangis. Aku gak suka." Kata Devan kembali menunduk.
Rumi pun mulai jongkok agar sejajar dengan Devan. Tangis Rumi semakin pecah hingga membuat Devan menunduk semakin dalam karena tak kuasa melihat airmata Rumi.
"Kalo kamu belum bisa maafin aku, aku wajar kok." Kata Devan lagi.
Rumi menggeleng. Masih terisak.
"De... Devan..." dengan susah payah Rumi mencoba untuk membuka suara.
"Devan... kamu... kamu gak perlu ngemis cinta dari aku, Van. Tanpa kamu minta sekalipun, perasaan aku selalu ada buat kamu." Kata Rumi berusaha menahan tangis agar tidak semakin kencang dan pilu.
"Sejak putus dari kamu... aku gak pernah niat buat nyari pengganti kamu. Hati aku selalu nolak setiap kali ada orang yang mendekat. Aku.. aku sama sekali gak tertarik sama mereka, Van. Sebaik atau se-tampan apapun orang itu." Lanjut Rumi lagi.
"Daridulu sejak putus aku selalu bertanya-tanya kapan kamu pacaran lagi... kapan kamu block seluruh kontak aku... kapan kamu akan blak-blakan ngelabrak aku kalo emang kamu udah gak cinta sama aku."
"Sakit, Van... sakit ditinggal kamu. Sakit ngelepas kamu. Sekalipun aku berhasil ngelepas kamu... aku gak pernah bisa ikhlas. Aku bahkan ngebuat imajinasi sendiri ngebayangin kamu pacaran sama cewek hits yang emang secara cover cantik kayak boneka. Terlebih sekarang kamu udah masuk ke dunia entertainment."
"Di awal-awal aku sempet nangis ngebayangin itu. Tapi lama kelamaan, entah kenapa, aku ngerasa kamu gak begitu tertarik lagi sama cewek cantik. Mungkin emang cewek cantik banyak di sekitaran kamu, tapi kayaknya cuma sebagai penyegar mata aja. Sama kayak aku. Ngeliat cowok ganteng, keren atau cowok roti sobek sekalipun, cuma sebagai penyegar mata aja. Tapi hati aku masih dan akan selalu buat kamu, Van. Muaranya kamu. Pemberhentian terakhirnya tetap kamu." Kata Rumi mulai tenang.
Devan pun mulai menatap mata bening Rumi yang memerah.
Rumi pun tersenyum.
"Devan... Aku gak perlu jawab lagi kan? Kamu udah tau jawabannya."
***

© Fajria Anindya Utami - fajanuta

Halo semua! Cuma mau bocorin aja. ini sebetulnya salah satu BAB di dalam buku yang saya buat. Ceritanya udah completed di Wattpad, yang mau baca boleh banget! Haha Saya suka part ini karena berhasil nyentuh banget biarpun udah saya baca berkali-kali hahaha. Semoga suka ya!

PS: Devan itu bukan mantan saya kok. Cuma namanya aja yang mirip ;p

You Might Also Like

2 komentar:

Selasa, 18 April 2017

Lombok (Cerpen)

"He? Cabe? Erica? Ngapain??? Kok gak bilang?" tanya Rumi terkaget-kaget saat melihat Cabe dan Erica sudah nangkring di kamarnya bersama koper.
"Akhirnya datang juga. Yuk caw. Gue udak pack-in barang lu." Kata Cabe seraya menarik koper dan tangan Rumi.
"Caw? Caw kemana?"
Cabe pun menunjukkan tiket menuju Lombok. "Ke kampung gua,"
"Lu gila? Gue senin masih kerja!" kata Rumi masih kebingungan.
"Elah kerja mulu lu. Liburan lah kali-kali. Ayo ah buru! Flight jam 1 nih kita." Kata Cabe lagi masih menarik Rumi.
Rumi pun terseret-seret ditarik Cabe.
"Mbuy, kamu diem aja. Ini kenapa?? Ada apa?"
Erica pun hanya tersenyum. "Nurut aja sama kita ya."
Rumi mengernyit. Ia kebingungan dengan sikap Cabe dan Erica. Nempel pantat aja belum, udah harus pergi lagi.
"Hati-hati ya, Mbak." Kata Ayah nya keluar kamar. "Bawa oleh-oleh kalo sempet." Kata Ibu nya tiba-tiba.
"I.. Iya.."
"Pamit, Abi, Umi..." kata Cabe sok akrab.
"Mang emak bapak lu?"
"Iyalah kakak ipar. Ayang gua aja tadi gua kelonin di kamarnya."
"Alig lu dasar."
"Be, buruan deh. Taxi nya udah nungguin." Kata Erica menyela.
"Iye iye. Yuk buru."
Rumi kebingungan. Ia pun hanya menurut dan langsung duduk di dalam taxi serta membiarkan Erica dan Cabe memasukkan barang-barang mereka ke bagasi.
Ini kenapa?? Ada apa????

***

Bandar Udara Internasional Lombok pukul 4 pagi
"Mbuy, Cabe.. ini pagi buta. Kita mau kemana?"
"Udah, aman pokoknya."
Rumi pun hanya menuruti kata-kata Erica dan Cabe. Ia tak tau harus apa, hanya mengikuti mereka berdua hingga mobil pribadi –yang Rumi yakini adalah mobil sewaan, mobil itu pun membawa mereka ke pantai yang sepi di dini hari.

Rumi kembali celingukan, masih bingung dengan apa yang terjadi. Hingga tiba-tiba matanya ditutup oleh selembar kain dan ia tak bisa melihat apapun kecuali kegelapan.
"Eh eh eh... ulang tahun gue masih lama! Kok gue ditutup gini kayak mau dapet surprise aja???"
"Udah pokoknya lu keluar dari mobil sekarang!" kata Cabe tiba-tiba galak.
"Iya iya..."
"Ikutin kita," kata Erica menarik tangan Rumi.
"Iya iya..."
Suara deburan ombak pun terus menggema di telinga Rumi. Dan Rumi masih kebingungan ia akan dibawa kemana. Masa sih teman-temannya akan mendorong dia ke laut? Gak mungkin kan.
Setelah sekian lama berjalan tiba-tiba langkah Rumi terhenti. Lalu, Erica yang sedaritadi menuntunnya tiba-tiba melepaskan genggaman dan meninggalkan Rumi sendirian.

"Be.... Erica....?" Panggil Rumi sambil menggapai-gapai dengan jemarinya.
"Eh... kalian.... Kok diem?" Rumi masih bersuara.
"Eh... Kok sepi sih? Jangan sampe gue joget Caesar nih." Oceh Rumi lagi.
"Gue buka ya???"
"Cabe....? Kalo gue buka lu marah gak...?"
Masih juga tak ada jawaban.
"Oke gue buka ya..."
Rumi pun membuka penutup matanya.

Jeng jeng....

Di hadapannya kini ada sebuah layar putih besar dengan proyektor. Dalam sekejap, tiba-tiba sebuah video pun diputar.
"Halo!!!"
Itu adalah Rumi sewaktu remaja.
"Kita lagi dimana?" tanya Devan yang berada disamping Rumi.
"Di curug cilember! Adaw..." jawab Rumi yang langsung merintih sok sakit saat Devan menggerakan kepala Rumi agar menyender di pundak Devan.
"Di beliin gelaaang.." kata Rumi lagi.
"Murah gelangnya..." timpal Divan.
"Cuma goceng! Haha."
Rumi terkesiap menonton video yang diputar. Air matanya menetes begitu saja melihatnya. Itu adalah video yang sempat Rumi dan Devan buat sewaktu mereka pergi ke Curug Cilember.
"Kayaknya... ada orang yang mau dilamar. Daritadi ada tulisan ini. Aku juga mau dilamar disini!" kata Rumi di depan kamera saat melihat tulisan ‘I love you’ dari karangan bunga.
"Kodeeeeeee keras!" timpal Devan.
Menonton itu, Rumi pun tertawa dalam tangisnya. Ya ampun, ini pasti kerjaan Devan!
Hingga video itu pun habis dan muncul lah Devan dalam video.
"Rumi... maaf gak bisa bawa kamu ke Curug Cilember lagi. Aku... takut..." kata Devan.
"Aku pernah baca postingan Tumblr kamu. Kamu bilang, waktu kamu masih pacaran sama Rusdi, bulan Agustus kamu ke Curug Nangka dan bulan Oktober kalian putus. Terus, kita ke Curug Cilember bulan Mei, dan putus di bulan Juli. Jaraknya sama... dua bulan." Kata Devan di dalam Video.
"Bukannya aku kolot dengan percaya hal-hal kayak gitu, tapi aku menghindari hal yang gak aku pengen. Mungkin kamu gak begitu suka pantai dan lebih suka air terjun, tapi kalo boleh jujur, aku lebih suka pantai. Makanya sekarang, disini... di tempat yang aku suka, aku akan......"
Zleb.... tiba-tiba video tersebut mati.

Rumi pun celingukan dan penasaran ada apa... lalu layar putih besar itu pun jatuh ke pasir dan ada seseorang dalam kegelapan yang sudah berdiri disana hingga membuat Rumi semakin terkesiap.
Devan.

 Ia berjalan menghampiri Rumi. Dan dalam satu jentikan jari, tiba-tiba suasana ramai. Di sisi Rumi, teman-temannya ramai berkumpul. Lalu di sisi Devan, ramai pula teman-temannya.

Angin pantai saat dini hari pun terus berhembus yang dinginnya sampai menusuk kulit meski Rumi selalu memakai pakaian yang tertutup mulai dari kepala hingga kaki yang hanya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.

Devan pun semakin mendekat hingga akhirnya ia dapat sejajar dengan Rumi.

Pada dini hari ini, Devan terlihat cukup tampan dengan setelan kemeja yang digulung dan celana jeans santai. Rambutnya tetap sama, selalu ia usahakan untuk rapih padahal daridulu Rumi suka rambut Devan yang acak-acakan.

Devan pun tersenyum.
"Ini... kenapa...? Ada apa...?" tanya Rumi dengan degup jantung yang tak dapat ia sembunyikan.
"Gak kok. Gak ada apa-apa." Kata Devan. "Kita lagi syuting." lanjut Devan lagi.
"Serius...?" tanya Rumi tak percaya.
Devan tertawa. "Kamu gampang diculik ya emang."
Rumi pun hanya garuk-garuk kepala.
Hening.
Canggung.
"Ehm.. Rumi." Kata Devan.
"Rumi... sebelumnya... aku mau minta maaf sama kamu." Lanjut Devan lagi.
"Minta maaf kenapa?" tanya Rumi bingung.
"Dulu udah ninggalin dan nyakitin kamu."
Rumi pun tertawa kecil.

"Udah lama banget itu, aku juga udah lupa rasa sakitnya."
"Kalo inget kejamnya aku yang udah ninggalin kamu, rasanya aku mau ngerutuk diri aku sendiri." Kata Devan menunduk.
"Udah gak usah diinget." Kata Rumi menenangkan.

*play (video) nya*
"Rumi... bertahun-tahun aku nyoba nyari pengganti kamu. Bertahun-tahun aku nyoba buat jatuh cinta lagi. Bertahun-tahun aku nyoba buat ngelupain kamu. Dan... bertahun-tahun itu pula aku gagal." Kata Devan masih menunduk.
"Aku mungkin sempet kesel, gondok atau apapun lah sama kamu. Tapi tetep aja. Rasanya masih sama, Rumi. Aku masih sayang sama kamu."
"Mungkin dari dulu aku sering bilang ini, tapi ini benar adanya Rumi; you're the first girl that caught my attention. An alpha, a cheerful girl, a tough girl who has beautiful smile all the time and have a heart that made from gold. You're still the one in a billion, Rumi. I have to tell you this anymore because I love you more than I love myself, because you have taken my whole life, there's nothing left I could say but...."
Devan tiba-tiba berlutut dan mengeluarkan cincin.
"Will you marry me, Rumi?"
Sinar mentari yang mulai naik di ufuk timur pun langsung menyinari. Rumi terkesiap. Ia menangis tak percaya. Seluruh teman-temannya dan teman-teman Devan disini. Menjadi saksi bagaimana Devan melamarnya.
"Aku mungkin penuh kekurangan, Rumi. Tapi aku akan selalu berusaha untuk menjadi suami yang baik nantinya, juga menjadi ayah yang hebat buat anak-anak kita."
Rumi pun kembali menangis. Sejak kapan Devan jadi se-visioner ini?
"Dan udah jadi resiko aku untuk menerima kekurangan kamu, Rumi. Nanti, aku akan selalu mendukung kelebihan-kelebihan kamu." Lanjut Devan lagi tersenyum menatap Rumi.
"Rumi... maafin aku yang dulu. Maafin aku yang pernah nyakitin kamu. Maafin aku yang pernah ninggalin kamu. Maafin aku yang pernah ngebuat kamu depresi sendirian dalam kekosongan. Maafin aku yang pernah ngebuat kamu bercumbu dengan kenangan. Maafin aku yang pernah ngebuat kamu tersiksa dengan sikap gak peduliku. Maafin aku yang dulu bocah dan kekanak-kanakan, Rumi. Maafin aku... Maafin semua kekurangan dan kesalahan aku."
"Tapi tolong percaya aku sekarang. Aku kayak gitu untuk mencapai semua mimpi aku, Rumi. Supaya aku semakin pantas untuk bersanding dengan kamu. Supaya aku semakin pandai membahagiakan kamu."
Rumi terkesima.
"Aku tau kamu udah nelen banyak pil pahit kehidupan. Banyak guncangan kehidupan yang udah kamu rasain. Sampai kamu lupa rasanya perih dan menjelma menjadi perempuan yang tangguh seperti sekarang ini."
"Rumi... Sekarang ataupun nanti, gak usah nanya-nanya lagi kenapa aku mau sama kamu. Semuanya udah jelas. Aku mencintai kamu sepenuh hati karena pribadi kamu. Aku tulus mencintai kamu. Dengan ketulusan yang mungkin kata tulus aja gak cukup untuk menjelaskan."
Rumi mulai terisak.
"Rumi... Aku mau mencintai kamu kini dan nanti. Dari dulu... sampai detik ini dan entah sampai kapan... yang aku harap sampai maut memisahkan. Yang aku tau cuma, aku mencintai kamu, Rumi. Sekali lagi... menikahlah denganku, Rumi. Akan aku cukupkan kebutuhanmu. Akan aku penuhi keinginanmu. Sampai aku letih, sampai aku berdarah perih. Aku akan upayakan apapun agar senyum dan keceriaan kamu selalu ada buatku. Dan aku akan terus berusaha menjadi alasan dibalik itu."
Devan pun mendongakkan kepalanya dan melihat Rumi menangis tersedu-sedu.
"No.... Rumi, plis, jangan nangis. Aku gak suka." Kata Devan kembali menunduk.
Rumi pun mulai jongkok agar sejajar dengan Devan. Tangis Rumi semakin pecah hingga membuat Devan menunduk semakin dalam karena tak kuasa melihat airmata Rumi.
"Kalo kamu belum bisa maafin aku, aku wajar kok." Kata Devan lagi.
Rumi menggeleng. Masih terisak.
"De... Devan..." dengan susah payah Rumi mencoba untuk membuka suara.
"Devan... kamu... kamu gak perlu ngemis cinta dari aku, Van. Tanpa kamu minta sekalipun, perasaan aku selalu ada buat kamu." Kata Rumi berusaha menahan tangis agar tidak semakin kencang dan pilu.
"Sejak putus dari kamu... aku gak pernah niat buat nyari pengganti kamu. Hati aku selalu nolak setiap kali ada orang yang mendekat. Aku.. aku sama sekali gak tertarik sama mereka, Van. Sebaik atau se-tampan apapun orang itu." Lanjut Rumi lagi.
"Daridulu sejak putus aku selalu bertanya-tanya kapan kamu pacaran lagi... kapan kamu block seluruh kontak aku... kapan kamu akan blak-blakan ngelabrak aku kalo emang kamu udah gak cinta sama aku."
"Sakit, Van... sakit ditinggal kamu. Sakit ngelepas kamu. Sekalipun aku berhasil ngelepas kamu... aku gak pernah bisa ikhlas. Aku bahkan ngebuat imajinasi sendiri ngebayangin kamu pacaran sama cewek hits yang emang secara cover cantik kayak boneka. Terlebih sekarang kamu udah masuk ke dunia entertainment."
"Di awal-awal aku sempet nangis ngebayangin itu. Tapi lama kelamaan, entah kenapa, aku ngerasa kamu gak begitu tertarik lagi sama cewek cantik. Mungkin emang cewek cantik banyak di sekitaran kamu, tapi kayaknya cuma sebagai penyegar mata aja. Sama kayak aku. Ngeliat cowok ganteng, keren atau cowok roti sobek sekalipun, cuma sebagai penyegar mata aja. Tapi hati aku masih dan akan selalu buat kamu, Van. Muaranya kamu. Pemberhentian terakhirnya tetap kamu." Kata Rumi mulai tenang.
Devan pun mulai menatap mata bening Rumi yang memerah.
Rumi pun tersenyum.
"Devan... Aku gak perlu jawab lagi kan? Kamu udah tau jawabannya."
***

© Fajria Anindya Utami - fajanuta

Halo semua! Cuma mau bocorin aja. ini sebetulnya salah satu BAB di dalam buku yang saya buat. Ceritanya udah completed di Wattpad, yang mau baca boleh banget! Haha Saya suka part ini karena berhasil nyentuh banget biarpun udah saya baca berkali-kali hahaha. Semoga suka ya!

PS: Devan itu bukan mantan saya kok. Cuma namanya aja yang mirip ;p

2 komentar: